Apakah Aku Gagap Budaya atau Krisis Identitas Budaya

Merantau konon katanya menimbulkan gagap budaya (gambar koleksi batur univ.paris.fr)

Merantau konon katanya menimbulkan gagap budaya (gambar koleksi batur univ.paris.fr)

Merantau meninggalkan ranah Minang menuju tanah Sunda ternyata cukup mengguncang diriku. Saat itu aku merasa bisa beradaptasi di tempat yang baru. Tinggal di asrama, berteman dengan teman baru, bergaul bersama kawan-kawan sesama perantau Minang, membuatku tetap betah tinggal di Bandung.

Dari tahun 2005 hingga pertengahan 2016 tinggal di Bandung, aku bisa dibilang cukup berbaur dan beradaptasi dengan lingkungannya. Aku cukup menguasai bahasa Sunda (tapi belum bahasa halusnya), senang mendengarkan dan nonton acara wayang golek, bahkan berpikir pun terkadang dalam bahasa Sunda.

Ketika di Bandung, aku semakin menyenangi cerita-cerita pewayangan, Ramayana atau Mahabharata. Saking senangnya, aku cukup menguasai pengetahuan tentang tokoh-tokoh dan alur cerita kedua cerita tersebut.

Bagaimana dengan budaya asalku sendiri? Aku masih fasih berbahasa Minang, lengkap dengan umpatan-umpatan cantiknya. Tapi ternyata aku tidak begitu mengenal kisah-kisah lokal, seperti Anggun nan Tongga, Puti Subang Bagelang, dan tambo Minangkabau itu sendiri.

Apakah aku mengalami gagap budaya? Dalam sebuah artikel yang dishare di sini, gagap budaya adalah sebuah kondisi kecemasan yang dialami seseorang saat ia harus melakukan penyesuaian di tempat baru yang nilai budayanya tidak sesuai dengan nilai budaya yang lama. Kondisi ini lebih disebabkan ketidakmampuan suatu individu untuk segera beradaptasi dengan budaya barunya, sehingga terjadi kesenjangan antara nilai yang dia anut dengan yang berlaku di masyarakat baru.

Dalam waktu sepuluh tahun lebih aku tinggal di Bandung, aku tidak mengalami gagap budaya. Tidak ada kecemasan, keinginan yang kuat untuk kembali tinggal di Padang, bahkan homesick selama menjalani kehidupan sebagai perantau. Aku bisa beradaptasi dengan baik, mengenal budaya, bahasa dan berdamai dengan iklim kota Bandung yang berbeda dengan kondisi di Kota Padang.

Tapi selama berada di Bandung, aku merasa jauh lebih akrab dengan bahasa Sunda, legenda dan cerita-cerita lokal, daripada Minang. Aku merasa kehilangan identitas sebagai perantau yang berasal dari Minang, bahkan logat dan cengkok Minang yang khas ala abang-abang jualan kain di Gasibu atau Pasar Baru pun mulai terkikis dari lidahku.

Tapi aku sendiri tidak segitunya menguasai budaya Sunda. Hanya mengenal, tapi tidak sepenuhnya memahami. Masih bolehkah aku mengaku sebagai orang Minang? Sementara aku hanya menguasai sedikit sekali tentang budaya Minang. Bahkan adat pernikahan di kampungku saja, sama sekali tak kumengerti.

Padang Murtad, Bandung KW, Surabaya Imitasi (foto koleksi batur)

Padang Murtad, Bandung KW, Surabaya Imitasi (foto koleksi batur)

Tapi jika aku mengaku sebagai orang Sunda, darahku pedas gurih khas sambalado RM. Pagi Sore. Filosofi dasar orang Sunda sama sekali tidak kupahami. Jika dianalogikan, aku seperti tempe yang dibumbui kaldu ayam. Walaupun aku berasa sop ayam, tapi pada dasarnya aku adalah tempe.

“Padang Murtad, Bandung KW,” menjadi becandaan teman-teman kepadaku. Karena dulu memutuskan untuk menetap di Bandung, aku pindah kartu keluarga ke Bandung.

Ternyata becandaan itu membuatku berpikir lagi. Apakah aku mengalami krisis identitas budaya? Aku mengalami kebingungan budaya mana yang harus menjad tumpuan? Apakah budaya Minang atau ciri khas Sunda yang akan kutonjolkan?

Tulisan ini tidak menyimpulkan sebuah solusi, ini hanya satu isi kepala yang sempat berputar-putar, menghilang lalu muncul kembali di pikiran. Oh ya, tulisan ini dibuat dalam keadaan sadar dan waras sepenuhnya.

Satu hal yang tidak akan kulupakan, yaitu identitasku sebagai kekasihmu.. cihuuuuy……

1minggu1ceritaa

13 thoughts on “Apakah Aku Gagap Budaya atau Krisis Identitas Budaya

  1. Halo mbah gondrong

    Masih mending bisa membaur, kuliah 4 tahun di Bandung, cuman bisa kiri payun a’. Sekolah di Semarang 3 tahun juga ndak berbekas. Jakarta 1 tahun apalagi.

    Balik ke Jogja, juga dalam kondisi makin ndak fasih budayanya. Jangan tanya urutan acara2 adat. Suram kali.

  2. Gw juga mikir gini mulu sejak pindah dari Bontang ke Jakarta. Apalagi, biarpun bokap orang Jawa, nyokap darahnya campur-campur banyak banget. Aku iniiii anaaakkkk manaaaaa~~ Akhirnya yaudahlah jadi anak seribu pulau aja :))

  3. aku sering bilang kalo aku ini orang Sunda KW. Keluarga bertaun2 tinggal di bandung dan nikah sama orang bandung, ngomong bahasa sunda aja ga becus 😛 ah udahlah.. orang Indonesia aja yuk 😀

  4. Halo bang, ini kali pertama saya mendarat di laman ini dan baca sekilas beberapa postingan. Sempat mikir lucu juga karena wordpressnya bernuansa pink :))))

    Saya kuliah di antropologi budaya (baru masuk tahun kedua, sih), tapi sedikit banyak belajar soal etnis dan etnisitas. Jadi yang saya dapet, etnis ditentukan berdasarkan garis keturunan, biasanya ngikut orangtua asalnya dari mana & budaya yang diajarkan sejak kecil seperti apa. Tapi kalau etnisitas, sifatnya subyektif & personal tergantung kecenderungan orang itu sendiri, dia merasa jadi orang mana. Bagi orang yang merantau ke lain daerah dan menetap di situ untuk waktu lama, persoalan etnisitas ini menarik..

    Kalau orangtua abang dua-duanya Minang dan waktu kecil abang dibesarkan di tengah-tengah budaya Minang, berarti etnis abang Minang kan ya. Lalu abang sendiri merasa cenderung orang Minang atau Sunda? Kalau merasa lebih dekat dengan Sunda, boleh jadi abang etnis Minang – etnisitas Sunda. 😀

Leave a reply to natazya Cancel reply