Seri Pahlawan Lokal: Padang (1)

Kita mungkin sering melihat banyak jalan di berbagai tempat yang memakai nama tokoh. Banyak jalan, apalagi jalan protokol, memakai nama pahlawan nasional, seperti Jalan Sudirman, Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Ahmad Yani, dan lain-lain. Tetapi tak jarang kita melihat nama tokoh-tokoh yang tidak begitu banyak dibahas yang dijadikan nama jalan.

Aku adalah salah satu dari orang-orang yang penasaran dengan nama-nama yang cukup asing di telinga, tapi dijadikan nama jalan. Sepanjang perjalanan hidupku, aku pernah tinggal di beberapa kota yaitu: Bukittinggi, Padang, Bandung, Surabaya-Sidoarjo. Pada kota-kota tersebut, ada beberapa jalan yang memakai nama tokoh-tokoh yang merupakan pahlawan lokal daerah tersebut.

Pada seri pahlawan lokal ini, aku mencoba mengenalkan beberapa pahlawan lokal di kota-kota yang pernah aku tinggali. Pada postingan pertama, aku akan membahas beberapa tokoh-tokoh lokal yang dijadikan nama jalan atau nama gedung di Kota Padang. Tokoh-tokoh ini bukan tokoh yang berasal dari Kota Padang, namun dijadikan nama jalan di Kota Padang dan beberapa kota lain.

  1. Chatib Sulaiman

Jalan Chatib Sulaiman di Padang adalah salah satu jalan protokol. Masjid Raya Sumatera Barat berada di jalan ini, bersimpangan dengan Jalan Ahmad Dahlan. Jalan ini berada di daerah administrasi Kecamatan Padang Utara

Chatib Sulaiman adalah tokoh pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan di Sumpur, sebuah nagari di Tanah Datar. Ia adalah putra dari Haji Sulaiman, seorang pedagang, dan Siti Rahma. Chatib kecil dididik dalam pola budaya Minangkabau. Ia bersekolah di Hollandsch Indlandsche School (HISAdabiah, Padang, dan kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO.

Tahun 1930, Chatin Sulaiman pindah ke Padang Panjang yang saat itu menjadi pusat pergerakan di ranah Minang. Di sana ia mengajar di HIS Muhammadiyah dan menjadi penerjemah di sebuah lembaga kepanduan, El Hilaal. Pada tahun 1931, ia diangkat oleh Moch Hatta menjadi pimpinan partai PNI Baru khusus daerah Sumatera Barat. Pada tahun 1942, Chatib Sulaiman sempat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Kutacane, Aceh, namun berhasil diselamatkan oleh tentara Jepang.

Pada pendudukan Jepang, Chatib Sulaiman diangkat menjadi pimpinan Giyugun, lembaga semimiliter, di Sumatera Barat.

Jabatan Sulaiman sebagai pemimpin Giyugun memberinya kesempatan untuk membangun dan membina kekuatan bersenjata yang dapat digunakan untuk mencapai Indonesia merdeka. Sebagai pemimpin Giyugun, Sulaiman mengarahkan para pemuda anggotanya untuk disiapkan menjadi seorang tentara untuk Indonesia merdeka. 

Pada tanggal 14 Januari 1949, Chatib Sulaiman sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah memimpin suatu rapat di Lurah Kincia, Situjuh Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Rapat diikuti Bupati Militer dan beberapa pimpinan pejuang lainnya serta puluhan orang pasukan pengawal. Hasil rapat memutuskan kota Payakumbuh yang sedang dikuasai Belanda harus diserang dari segala arah lalu mendudukinya untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa perjuangan rakyat Indonesia masih tetap ada. Hal ini dilakukan untuk melawan opini yang dibentuk Belanda bahwa Indonesia telah mereka kuasai sepenuhnya.

Keberadaan mereka akhirnya diketahui Belanda. Pada subuh hari tanggal 15 Januari 1949 saat para pejuang akan melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan oleh Belanda. Chatib Sulaiman dan beberapa pimpinan perjuangan beserta puluhan orang lainnya tewas seketika, diantaranya Arisun Sutan Alamsyah (Bupati Militer Limapuluh Kota), Letkol Munir Latief, Mayor Zainuddin, Kapten Tantawi, Lettu Azinar, Letda Syamsul Bahri serta 69 orang pasukan Barisan Pengawal Nagari dan kota (BPNK).

2. Johnny Anwar

Jalan Johnny Anwar di kota Padang terletak kecamatan Padang Utara, menghubungkan Ulak Karang dengan Lapai. Masyarakat Padang generasi 90-an pasti tahu dengan Bioskop President yang terletak di persimpangan Jalan Johnny Anwar dan Jalan Chatib Sulaiman.

Johnny Anwar adalah seorang pejuang kemerdekaan dan juga mantan perwira tinggi polisi. Ia juga merupakan kakak dari Rosihan Anwar, seorang tokoh pers nasional.

Ia berperan penting di kota Padang pada masa perjuangan fisik ketika pasukan Belanda dan sekutu kembali menduduki kota itu setelah kekalahan pihak Jepang dalam Perang Dunia II. Johnny pernah dipenjara oleh pihak penjajah karena sikapnya yang tidak mau bekerjasama dengan pihak Belanda dan sekutu.

Pada tahun 1946 ketika berusia 28 tahun ia diangkat sebagai Kepala Polisi Kota Padang dengan pangkat Komisaris Polisi kelas II. Setelah dibebaskan dari tahanan, pada tahun 1948, ia diangkat menjadi Kepala Polisi Kota Bukittinggi merangkap Kepala Polisi Kores Sumatra Barat. Pada tahun 1950 ia sempat ditugaskan untuk studi ke tiga kota di Amerika Serikat, San Fransisco, New York dan Washington selama 3 bulan.

Setelah masa revolusi fisik, Johnny Anwar menjalani karier kepolisiannya dengan berbagai jabatan dan bertugas diberbagai kota di Indonesia, diantaranya Kepala Polisi Komisariat Maluku di Ambon (1964), Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) XVIII Sulawesi Selatan-Tenggara di Makassar (1968) dan terakhir sebagai Komandan Operasi Bhakti Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) di Jakarta (1970-1972) sebelum pensiun.

3. Dr. M. Djamil

Dr. M. Djamil bukan sebuah nama jalan, tapi nama Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Padang. RSUD ini terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jati.

Dr. M. Djamil adalah seorang perintis kesehatan masyarakat dan dokter asal Indonesia yang lahir di Kayu Tanam, Padang Pariaman. M. Djamil adalah orang Indonesia pertama yang meraih dua gelar doktor.

Gelar doktornya yang pertama dengan titel Doctor Medicinae Interne Ziekten diperolehnya di Universitas Utrecht, Belanda pada 31 Mei 1932. Sedangkan titel doktornya yang kedua: Doctor of Public Health (DPH), diperolehnya dari Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 12 Juni 1934.

Pada tahun 1925-1927, M. Djamil melakukan riset di Koto Gadang dan Sianok mengenai penyakit TBC dan malaria. Dari hasil riset tersebut ia memperoleh penghargaan dari Ratu Wilhelmina. Dua tahun kemudian, ia pindah ke poliklinik Natal, Sumatra Utara. Disini ia kembali melakukan penelitian mengenai penyakit malaria. Melalui hasil risetnya itu, anggaran pemerintah yang telah ditetapkan untuk pemberantasan malaria bisa ditekan.

Pada tahun 1938-1939, ia ditugaskan pada Kantor Pusat Penyakit Malaria di Jakarta. Dalam risetnya M. Djamil menemukan cara baru untuk memberantas jentik-jentik nyamuk malaria dengan dedak. Serta peran selaput protozoon di atas air terhadap penjangkitan malaria. Karena keberhasilannya dalam riset tersebut, dr. Overbeek Kepala Bestrijding di Indonesia, memberikannya titel malarialoog (ahli malaria).

Selain di bidang kedokteran, M. Djamil juga aktif berpolitik. Ia yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia, sempat menjadi Ketua Komite Nasional Sumatra Barat, Residen Sumatra Barat, Gubernur Muda Sumatra Tengah, sekaligus Gubernur Militer Sumatra Tengah. Ia juga berperan besar dalam pendirian Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas di Bukittinggi.

4. Bagindo Aziz Chan

Masyarakat Padang tahun 90-an pasti akrab dengan Gedung Pertemuan Bagindo Aziz Chan. Gedung Serba Guna yang terletak di depan Taman Imam Bonjol. Gedung ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti: perpisahan, pertemuan, dan acara lainnya.

Bagindo Aziz Chan  adalah seorang guru dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan Wali Kota Padang kedua setelah kemerdekaan, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus 1946 menggantikan Mr. Abubakar Jaar.

Bagindo Aziz Chan lahir di Kampung Alang Laweh, Kota Padang. Ia adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan Bagindo Montok dan Djamilah. Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di Batavia. Ia sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) dan membuka praktik pengacara. Ia juga aktif di beberapa organisasi, di antaranya sebagai anggota pengurus Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Agus Salim.

Setelah proklamasi kemerdekaan, ia ditunjuk sebagai Wakil Wali Kota Padang pada 24 Januari 1946 dan pada 15 Agustus 1946 dilantik sebagai wali kota menggantikan Mr. Abubakar Jaar, yang pindah tugas menjadi residen di Sumatra Utara.

Di tengah situasi pasca-kedatangan Sekutu di Padang pada 10 Oktober 1945, ia menolak tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang berada di belakang tentara Sekutu. Ia terus melakukan perlawanan dengan menulis di surat kabar perjuangan Tjahaja Padang, bahkan turun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya meninggal pada tanggal 19 Juli 1947. Ia juga berpidato di depan umum, “Langkahilah dulu mayatku, baru Kota Padang saya serahkan”.

Pada 19 Juli 1947 sore hari, Bagindo dan keluarga bertolak dari Padang menuju Padang Panjang. Di daerah Purus, rombongannya dicegat oleh Letnan Kolonel Van Erps yang memberitahukan telah terjadi insiden di Nanggalo yang merupakan daerah garis demarkasi Belanda.

Menurut versi Belanda, ketika Bagindo turun itu dari mobil Jeep yang mengantarkannya di daerah Nanggalo itu, ia tertembak di lehernya dan dibawa ke sebuah rumah sakit di Padang.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s