Sepucuk Surat untuk Anakku (XII): Selamat Empat Tahun, Anak Bujang.

Dear Daru,

anak lelakiku.

Sudah empat tahun engkau hadir di antara kami, tumbuh sehat menjadi anak laki-laki yang akan selalu Abak banggakan–seperti umumnya para bapak. Empat tahun juga kami terus berusaha menjadi orang tua yang baik bagimu.

Empat tahun ini benar-benar penuh warna, diiringi naik dan turunnya kehidupan kita. Ada banyak tangis, tawa, kecewa, dan bangga mengisi cerita kita. Abak tidak akan berdusta dengan mengatakan bahwa hidup kita empat tahun ini bahagia-bahagia saja. Semua emosi mungkin pernah muncul, berbagai salah dan khilaf pernah terjadi.

Namun, itulah hidup. Kami berdua bukanlah sosok sempurna, baik sebagai suami atau istri, maupun sebagai orang tua. Tidak jarang kami melakukan hal yang tidak layak sebagai orang tua kepadamu. Mudah-mudahan engkau bersedia memaafkan kami, anak bujan sibiran tulang.

Maafkan Abak karena tidak membuatkan pesta untukmu. Abak tidak ingin engkau menjadikan peringatan hari lahir sebagai sesuatu yang harus dirayakan. Menurut Abak, cukuplah kita bersyukur atas waktu yang diberikan, kemudian berdoa semoga sisa umur kita selalu diberkahi. Semoga engkau bisa mengerti nak, tidak perlu iri dengan anak-anak lain yang dibuatkan pesta khusus merayakan ulang tahun.

Abak sedang berusaha menjalankan syariat-Nya dengan baik, berusaha mendekatkan diri. Abak mengerti, bahwa agar engkau tumbuh menjadi anak yang baik, Abak harus yang pertama menjadi baik. Jika ingin engkau tumbuh menjadi anak yang berbudi, Abaklah yang harus berbudi terlebih dahulu. Sesungguhnya orang tua adalah teladan pertama seorang anak, sebelum kemudian ia menemukan teladan yang lebih baik nanti.

Menjadi orang tua itu tidaklah mudah. Berapa pun banyaknya buku parenting yang dibaca, sesekali emosi menguasai sehingga buyar semua teori tersebut. Tak jarang kami lupa bahwa engkau adalah anak kecil dengan logika yang belum terbangun. Bagimu hidup adalah permainan dan bersenang-senang. Engkau tumbuh dengan rasa ingin tahu yang besar, hampir selalu bertanya terhadap apa pun yang kau lihat dan rasakan. Kadang-kadang pertanyaan tersebut berulang, sehingga menimbulkan rasa gemas dan sedikit jengkel.

Nak, rasa penasaran dan ingin tahu itu hendaklah kau jaga terus menerus, sampai engkau menua kelak. Rasa ingin tahu adalah pendorong utama dari keinginan untuk terus belajar. Ketika engkau kehilangan rasa penasaran itu, maka hilang pula keinginanmu untuk belajar, sehingga lenyaplah kesempatanmu untuk maju.

Anak bujang sibiran tulang, ubek jariah palarai damam, hiduplah dengan keberkahan. Kami tidak akan mendikte jalan hidupmu, tapi berusaha memberikan bekal agar penjalanan hidupmu selalu berkah dan bahagia. Apa pun cita-citamu kelak, kejarlah! Tumbuhlah menjadi pribadi yang baik dan penyayang.

Cium Peluk
Abak

Leave a comment