Surat dari Mang Kepada Keponakannya

Dear keponakan-keponakan Mang. Apa kabarnya kalian? Apakah kalian dalam keadaan sehat? Mengisi waktu liburan dengan 3M (Makan, Molor, Mo*ol), hehehehehe. Tapi yang pasti, kalian pasti kangen Mang Darma kaaaan? Ha… ha…. Ha….

Sudah hampir sebulan ya, sejak pertemuan terakhir kita di Learning Camp Sinergi Sumedang 2016?

Besok kan ya, tanggal 28 pengumuman hasil ujian SBMPTN yang kalian ikuti? Deg-degan? (ya iyalah deg-degan, da hirup.)

Sementara pengumumannya belum keluar, kalau boleh Mang minta kalian baca/simak baik-baik apa yang akan mang sampaikan.

Sekarang tinggal waktunya berserah, mempasrahkan semua keputusan di tangan-Nya. Tidak ada lagi  yang bisa kalian perbuat, hanya menunggu.

Apapun itu hasilnya, apakah sesuai dengan yang kalian harapkan atau tidak, itulah jalan terbaik yang disediakan oleh Allah. Percayalah bahwa ada skenario indah yang disiapkan-Nya untuk kalian.

Jika kalian memang telah berusaha dengan maksimal, lalu tidak lupa berdoa akan pertolongan-Nya, maka apapun hasilnya, ikhlaslah dan bersyukur. Jika baik, maka itulah buah kerja keras kalian, jika belum baik, berarti kalian sedang diuji supaya menjadi semakin kuat.

Jika memang kalian belum maksimal perjuangannya, ya terima saja apapun hasilnya. Jika baik, mungkin kalian beruntung, jika tidak ya wajar.

Apapun hasilnya, jangan sampai memalingkan kalian dari cita-cita yang kalian impikan.

Jika kalian diterima di PTN yang kalian inginkan, jadikan langkah ini sebagai titik tolak kalian menggapai cita-cita. Simpan cita-cita kalian, jangan lupakan. Jika suatu saat kalian merasa lelah dan jenuh, ingat lagi cita-citanya, hingga menjadi bahan bakar untuk semangat kalian.

Jika ternyata kalian belum diterima di PTN, jangan menyerah, jangan lupakan mimpi kalian. Bisa saja Tuhan sedang mempersiapkan jalan lebih panjang dengan ending yang lebih indah. Atau bisa saja kau merasa congkak dengan capaianmu jika masuk PTN, hingga kau abai terhadap cita-citamu. Berbaik sangka pada-Nya.

Surat ini hanya bisa Mang tulis di sini, soalnya kalau dikirim surat satu-satu ke alamat kalian, Mang ga tahu alamat lengkap kalian semua, dan lumayan juga ngirim surat Surabaya-Jawa Barat.

Jangan pacaran mulu, (mungkin) belum waktunya, jangan lupa bahagia, doa Mang untuk diri Mang sendiri lah, yeee. Hahahahaha, Doa semoga kalian selalu mendapatkan yang terbaik.

 

Salam

Mang Darma

Sudah Pernah Kemana Saja?

Ketika masih kanak-kanak, tak pernah sedikitpun terpikir untuk merantau, mengunjungi tempat-tempat baru. Tak sedikitpun terbersit rasa iri kepada kakak-kakakku yang sudah pernah mengunjungi kota lain, bahkan di luar propinsi dan luar pulau Sumatra ini. Gimana mau keluar kota, naik bus Padang—Bukittinggi aja yang hanya tiga jam (waktu itu) sudah mabok (harusnya naik bus diharamkan ya, karena memabukkan. Hahaha). Pada waktu itu aku masih jadi anak bungsu yang manja, tak terbayangkan rasanya jauh dari orang tua.

Ternyata takdir memberikanku kesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Indonesia, melakukan perjalanan dan mengambil pelajaran darinya.

Padang, 1990-2005

Aku tidak dilahirkan di kota ini, tapi tumbuh besar di sini. Kota yang terletak di pantai Barat Sumatra ini menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan diriku.

Kota ini melihatku tumbuh mencintai buku dan kata-kata. Kota ini juga mungkin turut berbahagia tatkala aku menemukan sahabat karib,berbagi cerita,duka dan suka bersama. Di kota ini, aku pertama kali jatuh cinta (atau saat itu aku rasa aku jatuh cinta)

Pekanbaru, 1995 dan 1996.

Perjalanan pertamaku adalah ke Pekanbaru, mengunjungi kakak sepupu, dan kakak tertua yang tinggal di sana. Bersama dengan Bapak dan Ni Roza, aku mengunjungi kota Lancang Kuning itu selama seminggu. Tidak hanya sekali aku melakukan perjalanan ke kota ini, berikutnya adalah saat wisuda dan nikahnya kakak tertuaku. Tidak banyak yang bisa kuingat, selain karena sudah sangat lama, juga karena sudah lupa (ya, ga inget itu namanya lupa om..).

Jakarta, 1999.

Perjalanan ke Jakarta ini sebenarnya cukup mengagetkan dan mendebarkan. Aku sama sekali tidak menyangka akan lolos ke Lomba Bidang Studi tingkat Nasional waktu itu. Orang tuaku tidak mau melepasku begitu saja, jika Guru Pembimbingku tidak ikut mendampingi. Untunglah pihak sekolah bersedia membiayainya, kalau tidak, sayang juga.

Kalau tidak salah, sekitar seminggu aku ada di Ibukota. Pertama kalinya melakukan perjalanan lebih dari delapan jam, pertama kali juga naik kapal feri, dan pertama kali ke luar pulau Sumatra. Awalnya deg-degan, soalnya meninggalkan rumah, orang tua menuju ke daerah yang sama sekali asing.

Alhamdulillah aku menjalaninya dengan baik, tanpa mengalami homesick dan pulang membawa prestasi (yang waktu itu) cukup membanggakan.

Setelah aku dewasa dan merantau. Aku mengunjungi kota ini cukup sering dengan berbagai keperluan dan pertemuan.

Yogyakarta, 2004

Menjabat sebagai ketua OSIS pada waktu SMA memberikanku akses untuk mengikuti berbagai kegiatan, salah satunya mengantarkanku ke Kota Pelajar. Diawali dengan Kongres Anak Propinsi Sumbar, dipilihlah beberapa orang yang diutus sebagai Duta Anak untuk mengikuti Kongres Anak Nasional di Yogyakarta.

Lagi-lagi aku tidak membayangkan akan terpilih menjadi Duta Anak Sumbar lalu mengikuti kegiatan tingkat Nasional di Yogyakarta. Sebelumnya, teman-teman seangkatan mengikuti Study Tour mengunjungi beberapa perguruan tinggi di pulau Jawa, hingga ke Yogyakarta juga kalau tidak salah. Sempat iri juga, tapi apa daya, mahil kalau mau ikutan. Pendapatan Bapak sebagai supir angkot tidak memungkinkan membiayai perjalanan tersebut.

Tapi kalau emang Tuhan berkehendak, pasti terjadi. Aku terpilih menjadi Duta Anak mewakili organisasi OSIS dan Pramuka. Kurang lebih seminggu kami mengikuti kegiatan di Yogyakarta, berjalan-jalan ke Borobudur dan pusat kerajinan perak Kuto Gede.

Hei, tahukah? Itu adalah pengalaman pertamaku melakukan perjalanan dengan pesawat. Gitu ya rasanya naik pesawat, hmm, kayak ada manis-manisnya gitu (pramugarinya ya? Hahaha).

Di sana aku berkenalan dengan teman-teman baru, beberapa ada yang gokil, beberapa ada yang cantik. Heuheuheu. Salah satu duta anak menjadi yuniorku di Teknik Mesin ITB, dan juga di UKM-ITB. Sebut sama namanya Catra, bukan nama samaran.

Temanku yang lain sesama Duta Anak ternyata teman sekelasnya mantan, melanjutkan kuliah di FK Unand, berkenalan dengan teman-teman SMA ku yang (kayak) pindah kelas kuliah di FK. Namanya Laura, Duta Anak dari Jambi.

Bandung, 2005-2016.

Bandung, kota penuh kenangan,kota yang kucintai seperti kampung halaman kedua.

Merantau, kata yang tidak asing untuk orang-orang yang berdarah dan berasal dari daerah Minangkabau (Sumbar). Kuberanikan diri untuk mencoba melanjutkan pendidikan di Kota Kembang ini, mengadu peruntungan di negeri orang. Aku bertahan hampir sebelas tahun, merangkai banyak kisah di dalamnya.

Banyak cerita dan kenangan yang terjadi selama satu dekade lebih itu. Ada kisah cinta, patah hati, persahabatan, pertengkaran, perjuangan bahkan depresi yang menekan. Sepertiga usia ku kulewati di ibukota Parahyangan.

Kota ini sangat memikat, membuatmu akan jatuh cinta pada kota ini, dengan segala baik buruknya. Kota ini menyediakan “Rumah” untukku, salah satu alternatifku untuk “Pulang”

Pulau Sempu, Malang, 2010.

Sebuah ajakan untuk ngetrip bareng dengan seniorku dan teman-temannya. Sebuah pulau di Selatan kota Malang, menawarkan keindahan pantai yang masih asri, laguna dengan pasir putih, tanpa ada listrik, tanpa ada perumahan. Menatap bintang yang berkelip genit, mendengarkan debur ombak membuai membawa lelap.

Malang—Bali, 2010

Lebaran mendekat, tapi aku sedang tidak ingin pulang. Sedikit impulsif, karena rencana ngetrip hingga Lombok dengan seorang sahabatku batal, aku melakukan perjalanan ke Malang, mengunjungi seorang teman.

Menjelang lebaran aku sudah diterima dengan hangat di rumah keluarganya. Tapi rasa bersalah mendadak menghantuiku karena melewatkan hari raya di rumah keluarga orang lain, bukan bersama keluargaku.

Hari terakhir puasa, mendadak kuputuskan aku akan ke Bali. Sedikit nekat, aku berjalan (well, pake bis sih) menuju pulau Dewata. Saat aku menginjakkan kaki di destinasi wisata paling terkenal di Indonesia ini, lebaran telah menjelang. Kuhabiskan hari-hari lebaran mengelilingi beberapa tempat di Denpasar, lalu aku kembali ke Malang.

Untungnya aku dijemput oleh Mas Dhani, calon kakak iparku. Oke, sebenarnya bukan kakak kandungku yang akan (dan sekarang telah) menikah dengannya. Tapi seorang senior di kampus yang sudah kuanggap seperti kakak perempuanku sendiri. Sedikit sombong, aku punya peran (sedikit juga sih) sehingga mereka berdua menjadi sepasang kekasih lalu suami-istri. Dikit tapi, dikiiiiit bgt. Hahahahaha.

Yogyakarta, 2011

Saat Gunung Merapi Yogya meletus, kawan-kawan dari Korps Relawan Salman langsung terjun ke lokasi, memberikan bantuan sesuai keahlian  mereka. Waktu itu aku tetap berada di Bandung, membantu di posko pusat.

Tahun 2011 Korsa merencanakan membuat program lanjutan, aku diajak untuk membantu di sana. Maret 2011 aku dan teman-teman relawan melaksanakan program Rumah Bimbingan Belajar-Tanggap Darurat Merapi Yogya. Lebih dari tiga minggu aku disana, dibantu teman-teman relawan lokal melaksanakan program bimbingan belajar untuk siswa SMP yang akan melaksanakan UN.

Bulan Juni aku ke sana lagi, kabur sejenak dari Bandung, terdampar di kosan seorang sahabat. Hanya beberapa hari saja, sekedar memberikan ruang untuk berpikir. Beberapa jam perjalanan kereta memberikanku waktu untuk sejenak berkontemplasi dengan diri sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.

Makassar 2015

Sekitar awal 2015 aku diajak untuk membantu sebuah sekolah Swasta di Makassar mempersiapkan murid-muridnya menjelang Olimpiade Sains Nasional. Dengan beberapa orang yang lain, kami menjadi mentor siswa sekolah tersebut yang akan dikirim mengikuti seleksi OSN tingkat kabupaten/kota.

Empat minggu aku di sana, lagi-lagi bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Mengunjungi kota pelabuhan, menikmati kuliner khas daerah pantai tersebut dan menuliskan cerita baru dalam catatan perjalanan hidupku.

Beberapa bulan setelah itu, lagi-lagi aku berkesempatan mengunjungi Makassar sekali lagi. Sebuah tawaran menjadi surveyor untuk penyusunan RDTR kota Makassar mengharuskanku kembali ke kota ini. hanya lima hari, tapi cukup menyenangkan.

Semarang 2015

Menjelang SBMPTN 2015, aku ditawarkan untuk membantu di Learning Camp perintis cabang Unnes Semarang. Tidak hanya mengajar, utamanya adalah memastikan LC tersebut berjalan dengan baik. Hanya dua minggu aku di sana, tapi ku akhiri dengan membuat kegiatan outdoor games yang menyenangkan. Sayang, tidak sempat untuk berjalan-jalan mengunjungi beberapa tempat di kota ini.

Surabaya 2016

Disinilah aku sekarang, di Kota Pahlawan. Tidak tahu entah sampai kapan aku akan menetap di kota ini. Satu hal yang pasti adalah, aku pindah ke kota ini bukan untuk kalah begitu saja. Aku harus mau dan mampu bertahan, menulis episode baru dalam kehidupanku.

Sejauh ini, tiga minggu lebih aku berada di kota ini, semua berjalan baik-baik saja. Pekerjaanku menyenangkan dan menuntutku untuk terus belajar dan berkembang. Seorang sahabat pernah berkata “Pekerjaan harusnya tidak hanya memberikan gaji, tapi juga kesempatan untuk terus mengembangkan diri.”

Aku bersyukur diberikan kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat di negara ini. Mungkin belum semua kudatangi, tapi kesempatan tersebut mengajarkanku banyak hal. Aku selalu percaya bahwa hidup adalah sebuah perjalanan, dan didalamnya kita mengumpulkan keping-keping kearifan. Perjalanan-perjalanan itu membentukku menjadi aku yang sekarang, dengan lebih dan kurangnya.

Jangan takut untuk bertualang, mengunjungi tempat baru, dan bertemu orang-orang baru. Kita tidak pernah tahu kemana hidup akan membawa kita. Kita juga tidak akan tahu, siapakah dari orang-orang yang kita temui dalam hidup memberikan manfaat dan pertolongan di masa depan.

Baper oh Baper

Entah sejak kapan kata “Baper” merajalelala membahana di dunia percakapan Indonesia. Apalagi di dunia percakapan anak muda yang masih mencari jati diri (entah hilang dimana jati dirinya). Entah kenapa anak muda sekarang pada suka baper, mungkin masih belum pakai 4G, makanya suka bapering (itu BUFFERING OOIII BUFFER….).

Menurut Kamus Besar Bahasa Kekinian, Baper merupakan kependekan dari Bawa Perasaan. Sedih, dibilang baper, ngambek dibilang baper, marah dibilang baper. Dikit-dikit baper, dikit-dikit baper, makanya pake 4G doong! (BUFFER OII BUFFER… Oh ya, maaf.. hehehehe)

Pada akhirnya kata Baper meniadakan kata-kata emosi seperti sedih, marah, galau, kecewa dan lain-lain. Memang sih, salah seorang temanku yang kebetulan (atau kebenaran) kuliah di Jurusan Linguistik pernah berkata bahwa bahasa pada akhirnya akan terus mengalami perubahan. Bahasa Indonesia dari bentuk awalnya, bahasa Melayu Pasar, telah mengalami perubahan dan perkembangan hingga kini. Banyak kata-kata serapan baik dari bahasa asing ataupun bahasa daerah menjadi bagian dari Bahasa Indonesia.

Bahasa Inggris pun tidak jauh berbeda. Bahasa Inggris yang digunakan Shakespeare dan bahasa Inggris yang digunakan oleh Mr. Harry Potter juga mengalami perkembangan. Oxford bahkan telah memasukkan kata Googling ke dalam kamusnya sebagai kata kerja untuk kegiatan melakukan pencarian melalui Google. Bahkan, keberhasilan actor terkenal, Kang Leo menerima piala Oscar telah menjadi sebuah kata sifat. Konon. Katanya adalah Leoed, kalau tidak salah artinya adalah “keberhasilan melakukan/mendapatkan sesuatu setelah kegagalan yang berulang-ulang.”

Tapi perubahan bahasa ini jadi kebablasan. Bayangkan sebuah kalimat “Ani merasakan kesedihan yang amat besar setelah ditinggal pergi Andi merantau” menjadi “Ani merasakan baper yang amat besar setelah ditinggal pergi Andi merantau.”  Aneh kan ya? Aneh ga sih? Atau nggak aneh?

Atau seperti ini “Bapak baper karena anak gadisnya masih belum pulang hingga larut malam.” Pertanyaannya, emosi apakah yang diwakili oleh kata baper ini? Sedih, marah, cemas, galau, senang, atau gegana (tanya Cita Citata ya kepanjangannya.. hehehehe).

Makanya, kurang-kurangilah make kata baper. Jangan sering-sering, kasihan Bahasa Indonesia kita. Apa ga kasihan ama editor dan penyusun KBBI? Capek lho harus mendata kata-kata yang akan diubah, dihilangkan dan ditambah. Hehehehe.

Jadi, jangan baper lagi ya, coba pake 4G biar ga baper. (EBUSET DAH NI ORANG, BAPER DAN BUFFER ITU BEDA… Iya maaf, baperan ih kamu orangnya. Bawaan Laper ya. Hehehehe.)

Please be Nice, Surabaya

 

Berderak pelan, kereta api Pasundan bergerak menjauhi Stasiun Kiara Condong. Matahari belum juga terbit, fajar saja yang telah menyingsing sebagai pertanda hari baru menjelang. Memantapkan langkah, kutinggalkan kota ini, Bandung. Kota yang penuh cerita dan kenangan. Kota pertama menerimaku sebagai perantau. Lalu  perantau ini kembali merantau, menjauh dari kampung halaman.

Berikut adalah contoh tulisan seseorang yang berpisah dengan kota yang ia cintai.

Akhirnya aku kembali merantau, setelah menjadikan Bandung sebagai kampung halaman kedua. Statusku menjadi “Perantau yang Merantau dari tanah Rantau.” Apaan sih?

Meninggalkan kota B yang sangat nyaman, tentu saja tidak mudah. Siapa sih yang bisa meninggalkan kota yang dipenuhi para penggemar fanatik? Meninggalkan kota yang penuh kisah cinta walau ada duka dalam ceritanya. Meninggalkan Cokotetra dan Rian yang selalu setia menyambut dengan senyum lebar menyapa. Meninggalkan kamu, yang berusaha menahan air mata melepasku (ini bukan tukang kredit yang nangis karena hutangnya belum kulunasi ya).

Berawal dari postingan di grup WhatsApp, kuberanikan mengajukan lamaran mengisi posisi Editor Penerjemah di sebuah perusahaan penerbit di Kota Pahlawan. Setelah penantian penuh harap, akhirnya aku harus pindah, mengadu nasib di kotanya Bu Risma.

Tak usah kuceritakan proses dari awal mengajukan lamaran, tes, hingga wawancara. Ga penting dan ga menarik juga sih. Nanti kalian malah bosan dan memutuskan untuk tidak lagi membaca postingan-postingan di blogku ini.

Baru seminggu lebih aku ada di kota ini. Surabaya. Kota yang panas. Aku yang berprinsip bahwa mandi sore adalah pilihan, mau tidak mau harus menyerah pada keadaan. Tidak mandi sore di kota ini, berarti menikmati malam-malam yang gelisah, jemari yang sibuk disertai sedikit umpatan-umpatan imut.

Tidak pernah terpikirkan untuk meninggalkan Bandung dan segala daya tariknya. Tapi ternyata Dia punya cerita lain untuk hidupku, diberikan-Nya jalan supaya aku meninggalkan Bandung untuk berjuang di Surabaya.

Pindah ke Surabaya berarti menambah jarak ke Jakarta. Apalagi ke Sumatra Barat. LDR, vLDR malahan, ditambah kata very. Impulsif ke Jakarta, berangkat pagi, lalu malamnya balik lagi semakin susah. Bisa mah bisa saja, tapi berat di ongkos. Mungkin suatu saat, kala rindu menumpuk tak tertahan. Mungkin. Entahlah.

Tapi yang pasti, “please, be nice Surabaya.” Mudah-mudahan aku selalu diberikan kekuatan untuk menjalani kehidupan di sini. Demi masa depan yang lebih asik.

 

Learning Camp Sinergi Sumedang Dream Project 2016

 

Sudah lebih sebulan aku tidak menulis cerita, ocehan dan celotehan di blog ini. Alasannya, lagi sibuk. Ga deng, emang pas lagi malas aja.

Tetapi bulan kemarin memang cukup banyak yang dilakukan (sok sibuk banget sih mang).

Akhir bulan April, aku dikontak oleh seorang sahabat (inisial “S”, belakangnya “eptian” hahahaha) untuk membantu dia di program Learning Camp yang akan diadakan di Sumedang (kamu tahu Sumedang? Ya, Tahu Sumedang). Aku diminta untuk membantu sebagai pengajar sekaligus KorLap (Koordinator Ngelap) atau kerennya On-site Manager. Tak perlu berpikir lagi untuk menerima tawarannya (walau menurut pengakuan oknum “S” ini, proyek ini adalah proyek nekat) karena aku bisa dibilang telah terbiasa dengan kegiatan seperti ini.

Berselang beberapa hari setelah tawaran ini kuterima, surel yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Sebelumnya aku mengajukan lamaran menjadi editor di sebuah perusahaan penerbit di Kota Surabaya, telah mengikuti tes yang diberikan tinggal menunggu panggilan wawancara.

Panggilan wawancara pun tiba, tapi bukan itu yang akan aku ceritakan di postingan kali ini. Skip-skip, setelah kembali dari wawancara di Kota Surabaya, aku bersiap untuk menjalankan Program Learning Camp Sinergi ini.

Proyek ini nyaris duplikasi dari program Learning Camp yang diadakan oleh LPP-YPM Salman ITB. Bentuknya adalah bimbel terpadu untuk siswa lulusan SMA yang berprestasi tapi berasal dari keluarga dhuafa. Bedanya, kali ini pesertanya spesifik dari kabupaten Sumedang.

Para peserta menetap selama tiga minggu, diberikan bimbingan belajar intensif persiapan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN).

Program ini dimulai tanggal 8 Mei 2016 dan berakhir tanggal 29 Mei 2016. Ada sepuluh orang siswa yang mengikuti kegiatan ini, lima laki-laki, lima lagi perempuan. Selain aku, ada dua orang lagi relawan yang membantu membimbing adik-adik (atau ponakan?), yaitu Anis dan Uus. Anis bertanggung jawab di bagian administrasi, mengajar Biologi dan Sejarah, sedangkan Uus mengajar Matematika dan Geografi, juga mengatur jadwal piket dan masak peserta sekaligus ibu Asrama. Aku? Selain mengajar Fisika, on-site manager (panggilan kerennya: Mamang Villa), juga menggantikan guru Bahasa Inggris dan TPA jika yang bersangkutan berhalangan hadir.

Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Mandalaherang, Kecamatan Cimalaka, Kabupaten Sumedang. Seorang jendral pensiunan TNI berbaik hati meminjamkan villanya untuk kami gunakan sebagai tempat tinggal dan belajar. Villa beliau sangat luas, dikelilingi kolam berisi ikan yang besar-besar. Ikan lele di kolamnya mencapai berat tujuh kilogram.

APA…?? TUJUH KILOGRAM?

Tukang pecel lele mungkin keder untuk menggoreng ikan ini. Hahahahaha.

Dari sepuluh orang peserta, lima orang dari SMA 3 Sumedang, dua orang dari SMA 1 Cimalaka, satu orang SMA 1 jatinangor, dan dua sisanya siswa SMK PI Bandung.

Selama tiga minggu, kami menjadi sebuah keluarga baru. Masak bersama, piket membersihkan rumah, mencuci piring, belajar dan bermain bersama. Tiga minggu kebersamaan mengakrabkan kami, layaknya adik-kakak, paman-keponakan, atau Mamang dan Alo.

Sejak perkenalan pertama, aku mengenalkan diri sebagai Mamang Villa. Emang iseng juga, aku minta peserta memanggilku “Mang Darma”. Biar ada variasi, (udah banyak sih variasi panggilannya, Abak, Uda, Kakak, Abang, Mas, Akang, Aa).

Karena umur mereka sama dengan usia keponakanku, tak ayal mereka kuperlakukan layaknya keponakan sendiri. Diajak main, bercanda, dijahilin dan juga ditegur jika mereka melakukan kekeliruan.

Tiga minggu bersama mereka, banyak kenangan yang kurekam dalam album kehidupanku. Tak sedikit aku belajar dari mereka, mungkin lebih banyak dari yang mereka dapatkan dariku. Mereka adalah anak-anak luar biasa, dengan cita-cita yang luar biasa. Mereka lebih dahulu belajar tentang kebijaksanaan hidup dari diriku, di usia mereka yang masih belia, mereka telah menetapkan tujuan hidup.

Tiga minggu ternyata cukup untuk menimbulkan ikatan emosional tersendiri dengan mereka.

Aris, si Ustads idola dedek imoetz (walau akhirnya ditikung juga).

Reza, si muka tiis nugelo.

Bagja, pria mandi terlama.

Wahyu, rajamodus, dua kali kalah truf. Hahahaha.

Hilfi, si susah ngomong di depan umum, tapi punya mimpi luar biasa.

Icha, jago masak dan nyambel.

Aye, sasaran kejailan favorit.

Amel, si “Uut” yang paling banyak menyerap kegaringanku. Hahahaha.

Jae, diam-diam nyelekit.

Isti, IronWoman, ibu ustadzah yang hobinya nyetrika.

Mudah-mudahan Allah selalu memberikan yang terbaik untuk kalian. Jangan berdoa supaya jalan kalian dimudahkan, tapi berdoalah supaya dikuatkan menempuh jalan yang kalian lalui.

Salam Sayang

Mang Darma