Ketika masih kanak-kanak, tak pernah sedikitpun terpikir untuk merantau, mengunjungi tempat-tempat baru. Tak sedikitpun terbersit rasa iri kepada kakak-kakakku yang sudah pernah mengunjungi kota lain, bahkan di luar propinsi dan luar pulau Sumatra ini. Gimana mau keluar kota, naik bus Padang—Bukittinggi aja yang hanya tiga jam (waktu itu) sudah mabok (harusnya naik bus diharamkan ya, karena memabukkan. Hahaha). Pada waktu itu aku masih jadi anak bungsu yang manja, tak terbayangkan rasanya jauh dari orang tua.
Ternyata takdir memberikanku kesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Indonesia, melakukan perjalanan dan mengambil pelajaran darinya.
Padang, 1990-2005
Aku tidak dilahirkan di kota ini, tapi tumbuh besar di sini. Kota yang terletak di pantai Barat Sumatra ini menjadi saksi pertumbuhan dan perkembangan diriku.
Kota ini melihatku tumbuh mencintai buku dan kata-kata. Kota ini juga mungkin turut berbahagia tatkala aku menemukan sahabat karib,berbagi cerita,duka dan suka bersama. Di kota ini, aku pertama kali jatuh cinta (atau saat itu aku rasa aku jatuh cinta)
Pekanbaru, 1995 dan 1996.
Perjalanan pertamaku adalah ke Pekanbaru, mengunjungi kakak sepupu, dan kakak tertua yang tinggal di sana. Bersama dengan Bapak dan Ni Roza, aku mengunjungi kota Lancang Kuning itu selama seminggu. Tidak hanya sekali aku melakukan perjalanan ke kota ini, berikutnya adalah saat wisuda dan nikahnya kakak tertuaku. Tidak banyak yang bisa kuingat, selain karena sudah sangat lama, juga karena sudah lupa (ya, ga inget itu namanya lupa om..).
Jakarta, 1999.
Perjalanan ke Jakarta ini sebenarnya cukup mengagetkan dan mendebarkan. Aku sama sekali tidak menyangka akan lolos ke Lomba Bidang Studi tingkat Nasional waktu itu. Orang tuaku tidak mau melepasku begitu saja, jika Guru Pembimbingku tidak ikut mendampingi. Untunglah pihak sekolah bersedia membiayainya, kalau tidak, sayang juga.
Kalau tidak salah, sekitar seminggu aku ada di Ibukota. Pertama kalinya melakukan perjalanan lebih dari delapan jam, pertama kali juga naik kapal feri, dan pertama kali ke luar pulau Sumatra. Awalnya deg-degan, soalnya meninggalkan rumah, orang tua menuju ke daerah yang sama sekali asing.
Alhamdulillah aku menjalaninya dengan baik, tanpa mengalami homesick dan pulang membawa prestasi (yang waktu itu) cukup membanggakan.
Setelah aku dewasa dan merantau. Aku mengunjungi kota ini cukup sering dengan berbagai keperluan dan pertemuan.
Yogyakarta, 2004
Menjabat sebagai ketua OSIS pada waktu SMA memberikanku akses untuk mengikuti berbagai kegiatan, salah satunya mengantarkanku ke Kota Pelajar. Diawali dengan Kongres Anak Propinsi Sumbar, dipilihlah beberapa orang yang diutus sebagai Duta Anak untuk mengikuti Kongres Anak Nasional di Yogyakarta.
Lagi-lagi aku tidak membayangkan akan terpilih menjadi Duta Anak Sumbar lalu mengikuti kegiatan tingkat Nasional di Yogyakarta. Sebelumnya, teman-teman seangkatan mengikuti Study Tour mengunjungi beberapa perguruan tinggi di pulau Jawa, hingga ke Yogyakarta juga kalau tidak salah. Sempat iri juga, tapi apa daya, mahil kalau mau ikutan. Pendapatan Bapak sebagai supir angkot tidak memungkinkan membiayai perjalanan tersebut.
Tapi kalau emang Tuhan berkehendak, pasti terjadi. Aku terpilih menjadi Duta Anak mewakili organisasi OSIS dan Pramuka. Kurang lebih seminggu kami mengikuti kegiatan di Yogyakarta, berjalan-jalan ke Borobudur dan pusat kerajinan perak Kuto Gede.
Hei, tahukah? Itu adalah pengalaman pertamaku melakukan perjalanan dengan pesawat. Gitu ya rasanya naik pesawat, hmm, kayak ada manis-manisnya gitu (pramugarinya ya? Hahaha).
Di sana aku berkenalan dengan teman-teman baru, beberapa ada yang gokil, beberapa ada yang cantik. Heuheuheu. Salah satu duta anak menjadi yuniorku di Teknik Mesin ITB, dan juga di UKM-ITB. Sebut sama namanya Catra, bukan nama samaran.
Temanku yang lain sesama Duta Anak ternyata teman sekelasnya mantan, melanjutkan kuliah di FK Unand, berkenalan dengan teman-teman SMA ku yang (kayak) pindah kelas kuliah di FK. Namanya Laura, Duta Anak dari Jambi.
Bandung, 2005-2016.
Bandung, kota penuh kenangan,kota yang kucintai seperti kampung halaman kedua.
Merantau, kata yang tidak asing untuk orang-orang yang berdarah dan berasal dari daerah Minangkabau (Sumbar). Kuberanikan diri untuk mencoba melanjutkan pendidikan di Kota Kembang ini, mengadu peruntungan di negeri orang. Aku bertahan hampir sebelas tahun, merangkai banyak kisah di dalamnya.
Banyak cerita dan kenangan yang terjadi selama satu dekade lebih itu. Ada kisah cinta, patah hati, persahabatan, pertengkaran, perjuangan bahkan depresi yang menekan. Sepertiga usia ku kulewati di ibukota Parahyangan.
Kota ini sangat memikat, membuatmu akan jatuh cinta pada kota ini, dengan segala baik buruknya. Kota ini menyediakan “Rumah” untukku, salah satu alternatifku untuk “Pulang”
Pulau Sempu, Malang, 2010.
Sebuah ajakan untuk ngetrip bareng dengan seniorku dan teman-temannya. Sebuah pulau di Selatan kota Malang, menawarkan keindahan pantai yang masih asri, laguna dengan pasir putih, tanpa ada listrik, tanpa ada perumahan. Menatap bintang yang berkelip genit, mendengarkan debur ombak membuai membawa lelap.
Malang—Bali, 2010
Lebaran mendekat, tapi aku sedang tidak ingin pulang. Sedikit impulsif, karena rencana ngetrip hingga Lombok dengan seorang sahabatku batal, aku melakukan perjalanan ke Malang, mengunjungi seorang teman.
Menjelang lebaran aku sudah diterima dengan hangat di rumah keluarganya. Tapi rasa bersalah mendadak menghantuiku karena melewatkan hari raya di rumah keluarga orang lain, bukan bersama keluargaku.
Hari terakhir puasa, mendadak kuputuskan aku akan ke Bali. Sedikit nekat, aku berjalan (well, pake bis sih) menuju pulau Dewata. Saat aku menginjakkan kaki di destinasi wisata paling terkenal di Indonesia ini, lebaran telah menjelang. Kuhabiskan hari-hari lebaran mengelilingi beberapa tempat di Denpasar, lalu aku kembali ke Malang.
Untungnya aku dijemput oleh Mas Dhani, calon kakak iparku. Oke, sebenarnya bukan kakak kandungku yang akan (dan sekarang telah) menikah dengannya. Tapi seorang senior di kampus yang sudah kuanggap seperti kakak perempuanku sendiri. Sedikit sombong, aku punya peran (sedikit juga sih) sehingga mereka berdua menjadi sepasang kekasih lalu suami-istri. Dikit tapi, dikiiiiit bgt. Hahahahaha.
Yogyakarta, 2011
Saat Gunung Merapi Yogya meletus, kawan-kawan dari Korps Relawan Salman langsung terjun ke lokasi, memberikan bantuan sesuai keahlian mereka. Waktu itu aku tetap berada di Bandung, membantu di posko pusat.
Tahun 2011 Korsa merencanakan membuat program lanjutan, aku diajak untuk membantu di sana. Maret 2011 aku dan teman-teman relawan melaksanakan program Rumah Bimbingan Belajar-Tanggap Darurat Merapi Yogya. Lebih dari tiga minggu aku disana, dibantu teman-teman relawan lokal melaksanakan program bimbingan belajar untuk siswa SMP yang akan melaksanakan UN.
Bulan Juni aku ke sana lagi, kabur sejenak dari Bandung, terdampar di kosan seorang sahabat. Hanya beberapa hari saja, sekedar memberikan ruang untuk berpikir. Beberapa jam perjalanan kereta memberikanku waktu untuk sejenak berkontemplasi dengan diri sendiri, mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.
Makassar 2015
Sekitar awal 2015 aku diajak untuk membantu sebuah sekolah Swasta di Makassar mempersiapkan murid-muridnya menjelang Olimpiade Sains Nasional. Dengan beberapa orang yang lain, kami menjadi mentor siswa sekolah tersebut yang akan dikirim mengikuti seleksi OSN tingkat kabupaten/kota.
Empat minggu aku di sana, lagi-lagi bertemu dan berkenalan dengan orang-orang baru. Mengunjungi kota pelabuhan, menikmati kuliner khas daerah pantai tersebut dan menuliskan cerita baru dalam catatan perjalanan hidupku.
Beberapa bulan setelah itu, lagi-lagi aku berkesempatan mengunjungi Makassar sekali lagi. Sebuah tawaran menjadi surveyor untuk penyusunan RDTR kota Makassar mengharuskanku kembali ke kota ini. hanya lima hari, tapi cukup menyenangkan.
Semarang 2015
Menjelang SBMPTN 2015, aku ditawarkan untuk membantu di Learning Camp perintis cabang Unnes Semarang. Tidak hanya mengajar, utamanya adalah memastikan LC tersebut berjalan dengan baik. Hanya dua minggu aku di sana, tapi ku akhiri dengan membuat kegiatan outdoor games yang menyenangkan. Sayang, tidak sempat untuk berjalan-jalan mengunjungi beberapa tempat di kota ini.
Surabaya 2016
Disinilah aku sekarang, di Kota Pahlawan. Tidak tahu entah sampai kapan aku akan menetap di kota ini. Satu hal yang pasti adalah, aku pindah ke kota ini bukan untuk kalah begitu saja. Aku harus mau dan mampu bertahan, menulis episode baru dalam kehidupanku.
Sejauh ini, tiga minggu lebih aku berada di kota ini, semua berjalan baik-baik saja. Pekerjaanku menyenangkan dan menuntutku untuk terus belajar dan berkembang. Seorang sahabat pernah berkata “Pekerjaan harusnya tidak hanya memberikan gaji, tapi juga kesempatan untuk terus mengembangkan diri.”
Aku bersyukur diberikan kesempatan untuk mengunjungi berbagai tempat di negara ini. Mungkin belum semua kudatangi, tapi kesempatan tersebut mengajarkanku banyak hal. Aku selalu percaya bahwa hidup adalah sebuah perjalanan, dan didalamnya kita mengumpulkan keping-keping kearifan. Perjalanan-perjalanan itu membentukku menjadi aku yang sekarang, dengan lebih dan kurangnya.
Jangan takut untuk bertualang, mengunjungi tempat baru, dan bertemu orang-orang baru. Kita tidak pernah tahu kemana hidup akan membawa kita. Kita juga tidak akan tahu, siapakah dari orang-orang yang kita temui dalam hidup memberikan manfaat dan pertolongan di masa depan.