Jangan Berlindung di Balik Hasil Tes Psikologi

“Aku kan Sanguin, jadi ya wajar aja ceroboh,”

“Ya aku kan ENTP, jadi kalau kata-kataku tajam, maklumi aja.”

Sering ga kita denger kalimat-kalimat senada dari orang-orang di sekitar kita? Orang-orang di sekitar kita itu mungkin telah mengikuti psiko tes (yang kemungkinan besar on line) dan mendapatkan hasilnya. Sayangnya, kebanyakan dari mereka menjadikan hasil tes tersebut sebagai dalih atas kelakuan mereka.

Misalkan, si A menurut hasil tes Galenus, kepribadiannya yang dominan adalah Sanguin. Tipe sanguin merupakan tipe yang tidak bisa diam, aktif, optimis dan ceroboh serta tidak teliti. Ia kemudian menjadikan hasil tesnya ini sebagai dalih atas kecerobohan yang ia lakukan.

Menurutku, menjadikan hasil tes sebagai dalih atas sikap dan kelakuan kita adalah hal yang bodoh. Berarti kita terlalu pengecut mengakui kesalahan, dan tidak mau memperbaikinya. Hasil tes psikologi seperti itu (misalpun hasilnya memang benar) bukan untuk diumbar ke khalayak umum. Harusnya hasil tes itu dijadikan refleksi untuk memperbaiki diri.

Contoh, seorang ENFP yang sulit berkomitmen harus mulai melatih dirinya supaya bisa dipercaya orang lain. Kecenderungannya terlalu terlibat bisa membuat orang lain terintimidasi, ia harus menjaga jarak yang pas, supaya tidak terlalu jauh tapi tidak terlalu merapat.

Ayolah, dewasalah dengan kekurangan dan kelebihan diri. Jika Anda sering melupakan sesuatu seperti janji, buatlah catatan pengingat, bukan menyalahkan ke-Sanguin-an Anda. Jika Anda memiliki kecenderungan berkata-kata tajam kepada orang lain, diamlah jika tidak bisa berbicara baik, Menyalahkan kepribadian ENTP Anda tidak akan mengurangi sakit hati orang-orang yang Anda omongkan.

Hadapi kekurangan Anda, lalu jadikan sebagai alat pertumbuhan diri. Berlindung di balik kekurangan diri bukan hal yang bijak, malah bodoh dilakukan.

Jadi…………..

Mun Kepo Hungkul Mah, Ulah Sok Tatanya Sagala

Warning, tulisan ini tidak ditulis dalam bahasa Sunda. melainkan dalam bahasa Indonesia yang (mungkin) baik dan (entah) benar.

Pernah ga sih, dihantui pertanyaan-pertanyaan yang tidak ada ujungnya.

  • kapan lulus?
  • (udah lulus) kapan kerja?
  • (udah kerja) kapan nikah?
  • (udah nikah) kapan punya momongan?
  • (punya anak 1) ga nambah lagi? biar si kakak ada temennya.
  • (punya anak 2) sepasang doang? ramein atuh rumahnya..
  • (punya anak 3) ga tau sih pertanyaan berikutnya apa, tapi pasti selalu ada pertanyaan-pertanyaan

Pasti tidak sedikit yang mengelus dada menahan sakit (atau jengkel) mendengarkan pertanyaan-pertanyaan ini. Alasannya, pertanyaan-pertanyaan itu tidak berdiri sendiri, pasti ada lanjutannya. Misal, “Kapan lulus, itu teman-temannya udah pada lulus, udah mapan, masa kamu belum?”, “Kapan nikah, anak Ibu C anaknya udah nikah dan punya anak, padahal lebih muda dari kamu.”

Jujur saja, pertanyaan-pertanyaan itu sempat menjengkelkanku (oke, tiga pertanyaan teratas.) Masalahnya, yang mengajukan pertanyaan bukanlah keluarga terdekat, atau sahabat karib, melainkan hanya teman, kenalan, ya gitu deh.

“Ngapain sih nanya-nanya, kepo doang atau beneran peduli?” itu yang kurasakan dalam hati.

Tidak semua orang senang ditanya-tanya seperti itu, apalagi hanya sekedar pertanyaan “basa-basi” dan “kepo” saja. Apa manfaat jawaban pertanyaan itu untuk penanya? Atau penanya memang benar-benar peduli pada yang ditanya?

Kalau memang peduli, tunjukkan, jangan hanya dijadikan pertanyaan sambil lalu saja.

“Kenapa masih belum nikah? Dalam pandanganku kamu sudah siap secara usia dan finansial, sekarang apa yang menghalangi? Apa yang bisa aku bantu?”

“Kalian sudah menikah sekian tahun, tapi belum dikaruniai momongan. Apakah memang sengaja menunda atau gimana? Aku punya beberapa artikel, dokter yang mungkin bisa membantu”

Jangan sampai pertanyaan-pertanyaan yang kadang kita tanyakan sambil lalu, menyakiti perasaan orang lain. Kalau ditanya balik “Kapan mati?” sama orang lain, senang ga?

Kita sering dinasihati seperti ini, “Kalau kamu sakit dicubit, maka orang lain juga akan sakit kalau dicubit.” Menurutku lebih tepatnya, “Coba tanya ke orang lain apakah dia kalau dicubit sakit, atau jangan-jangan malah ada luka yang terbuka kalau kita cubit?”

Cara kita bereaksi terhadap sesuatu pasti berbeda dengan orang lain. Jadi tidak bisa disamakan.

“Ah pertanyaan itu doang, lebay banget sih ampe sakit hati segala.”

Jangan-jangan dia punya kisah yang menyakitkan, yang akan mengorek luka jika kita menanyakan suatu pertanyaan. Jangan-jangan pertanyaan kapan nikah mengorek lagi luka karena kegagalannya bersanding dengan seseorang, dan luka itu belum sembuh benar.

Jadi, mun kepo hungkul mah, ulah sok tatanya lah. Mending cicing we, mun teu boga solusi atau teu paduli-paduli pisan mah. Kitu, ngartos teu, **d?