Sepucuk Surat untuk Anakku XIV: Anak Elok Laku

Surabaya, 4 Maret 2024

Dear anak bujang Abak,

Daru Lintang Segara

Tak terasa sekarang sudah memasuki bulan Maret. Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Ramadhan, kembali berpuasa, sholat tarawih selama satu bulan. Tentu saja, insya Allah jika tidak ada halangan, kita akan pulang kampung selama libur lebaran kali ini.

Iya, Alhamdulillaah Abak dan Bundo tahun ini ada rezeki sehingga kita bisa lebaran di kampung, di Kapau, bertemu Nenek Des dan Nenek Lis, serta bertemu sanak saudara lainnya. Mudah-mudahan selama di kampung kita bisa jalan-jalan keliling Sumbar, ke tempat-tempat baru yang indah, menikmati hijaunya Ranah Minang.

Dulu, saat masih usia remaja dan awal dua puluhan, Abak heran dengan para bapak-bapak yang selalu membanggakan anaknya, seakan anaknya yang paling pintar, sholeh, atau paling segala-galanya. Abak merasa mereka tidak melihat anaknya dengan kacamata yang benar, hanya melihat anaknya dengan kacamata kuda.

Namun, setelah menjadi seorang ayah, aku paham betapa besarnya kebanggaan orang tua kepada anaknya. Bagi seorang bapak anak adalah segalanya, apalagi untukku. Menikah, memiliki anak, dan berhasil mempertahankan pernikahan hingga lebih dari enam tahun adalah sebuah pencapaian terbesar dalam hidupku. Ketika melihat lagi kehidupanku bertahun-tahun yang lalu, agak sulit membayangkan aku hidup bersama orang lain, mampu menjalani sebuah hubungan berkomitmen, dan akhirnya terikat dengan sebuah rumah.

 Di usiamu menjelang lima tahun, engkau tumbuh menjadi anak yang membanggakan. Tingkah laku, perbuatan, dan celotehanmu akan menjadi hal yang akan kuceritakan kepada orang-orang. Aku akan bercerita dengan bangga “Anakku begini, begini…”

Semua cerita itu memang benar adanya. Kau adalah anak yang elok laku. Terlepas dari kadang-kadang rewel kalau di rumah, namun di luar rumah engkau adalah anak yang elok laku baik budi. Membawamu ke masjid tidak akan membuat Abak khawatir engkau akan mengganggu yang lain. Kau selalu bisa dan mau sholat dengan tenang di sebelahku. Bahkan, di Ramadhan kali ini walau engkau tidak lagi ikut sholat tarawih karena ingin bermain dengan teman-teman, tapi engkau mau mendengarkan pesan Abak untuk tidak berteriak dan berlarian di dalam masjid.

Abak mendoakanmu untuk terus tumbuh menjadi anak yang elok laku, pribadi yang baik dengan akhlak yang mulia. Mudah-mudahan kami orang tuamu juga terus mampu belajar menjadi orang tua yang baik dan menjadi contoh.

Teruslah tumbuh jadi anak yang membanggakan, bukan karena prestasi tapi karena perbuatan-perbuatan baikmu.

Peluk cium penuh cinta

Abak

Sepucuk Surat untuk Anakku (XIII): Mencari Sekolah Daru

Dear Daru,
anak bujang yang senang membaca, bertanya tentang hal-hal teknik, dan bermain air.

Ternyata awal tahun adalah waktunya untuk mencari-cari sekolah untukmu. Kata Bundo, kalau tidak dicari dan booking dari sekarang, nanti bisa jadi udah penuh. Jadilah Abak awal Januari, karena sedang libur semester juga, mulai survei untuk sekolah Daru.

Sebenarnya dari awal sudah diberikan opsi oleh Bunda Anik, pemilik daycare-nya Daru. Setelah berdiskusi dengan Bundo, maka diputuskan Abak akan survey, nanya-nanya, dan langsung daftar kalau memang sudah dirasa oke.

Ada beberapa pertimbangan dalam memilih sekolahmu ini. Pertimbangan utama adalah kurikulum dan jarak dari rumah serta daycare. Bagi kami, Abak dan Bundo, TK dengan kurikulum Islam adalah hal mutlak dalam memilih sekolah. Harus kami akui, Abak dan Bundo yang bekerja mengurangi waktu interaksi kita di rumah. Bukan berarti kami di rumah tidak mengajarimu sholat dan mengaji, tapi untuk memaksimalkan pendidikan agama sejak dini, maka harus didukung dengan sekolah yang juga mengajarkan agama.

Di usia 4,5 tahun sekarang, engkau selalu mengajak sholat bersama, bahkan harus dibangunkan untuk sholat Subuh. Jika Abak sedang ada di rumah, engkau akan selalu senang jika diajak sholat ke masjid. Tidak jarang kau bertanya, “Abak, kita ga sholat di masjid?” Mudah-mudahan beberapa waktu lagi, kita bisa mulai sholat Subuh di masjid.

Pertimbangan kedua, tentu saja jarak dari rumah. Mau tidak mau, ini jadi pertimbangan penting juga. Jika sekolahmu terlalu jauh dari rumah, akan menyulitkan Abak dan Bundo mengantarmu pagi, dan juga merepotkan Bunda daycare menjemputmu nanti. Sepulang sekolah engkau nanti akan ke daycare lagi sampai sore/magrib nanti Bundo jemput.

Di usia 4,5 tahun, engkau tumbuh menjadi anak yang menyukai buku. Mungkin karena sejak awal sudah kami kenalkan dengan buku, maka engkau sangat girang sekali ketika dibelikan buku baru. Bahkan buku-buku yang engkau belum bisa baca, seperti Bobo edisi 50 tahun, atau kumpulan dongen Bobo, engkau akan meminta Abak tau Bundo untuk menceritakan.

Jika kebetulan Abak pulang cepat, atau maghrib sudah ada di rumah, maka sebelum tidur kita harus cerita-cerita dulu. Kita berdua berbaring di kamar, lampu sudah dimatikan, lalu kau akan bertanya tentang banyak hal kepada Abak. Engkau akan bertanya tentang lava, hujan, sungai, hewan, dan lain-lain.

Harus diakui, menjawab pertanyaan anak usia 4 tahun itu cukup melelahkan. Pertanyaan yang seakan tak ada ujungnya, bahkan beberapa pertanyaan diulang terus. Namun, katanya tidak boleh memarahi anak karena terus bertanya. Usia segitu adalah usianya penuh keingintahuan, usia melihat dunia dengan pertanyaan. Makanya Abak dan Bundo berusaha sebisa mungkin menjawab pertanyaan-pertanyaanmu dengan sabar, dengan harapan rasa ingin tahu itu bisa terpelihara hingga engkau dewasa nanti. Rasa ingin tahu adalah dasar dari keinginan belajar. Jika memudar, maka memudar juga keinginan untuk menambah ilmu baru.

Mudah-mudahan nanti bulan Juli engkau bisa memulai sekolah dengan baik, antusias, dan senang. Mudah-mudahan engkau menjadikan sekolah sebagai hal yang ditunggu-tunggu, bukan hal yang dihindari.

Peluk cium
Abak

Sepucuk Surat untuk Anakku (XII): Selamat Empat Tahun, Anak Bujang.

Dear Daru,

anak lelakiku.

Sudah empat tahun engkau hadir di antara kami, tumbuh sehat menjadi anak laki-laki yang akan selalu Abak banggakan–seperti umumnya para bapak. Empat tahun juga kami terus berusaha menjadi orang tua yang baik bagimu.

Empat tahun ini benar-benar penuh warna, diiringi naik dan turunnya kehidupan kita. Ada banyak tangis, tawa, kecewa, dan bangga mengisi cerita kita. Abak tidak akan berdusta dengan mengatakan bahwa hidup kita empat tahun ini bahagia-bahagia saja. Semua emosi mungkin pernah muncul, berbagai salah dan khilaf pernah terjadi.

Namun, itulah hidup. Kami berdua bukanlah sosok sempurna, baik sebagai suami atau istri, maupun sebagai orang tua. Tidak jarang kami melakukan hal yang tidak layak sebagai orang tua kepadamu. Mudah-mudahan engkau bersedia memaafkan kami, anak bujan sibiran tulang.

Maafkan Abak karena tidak membuatkan pesta untukmu. Abak tidak ingin engkau menjadikan peringatan hari lahir sebagai sesuatu yang harus dirayakan. Menurut Abak, cukuplah kita bersyukur atas waktu yang diberikan, kemudian berdoa semoga sisa umur kita selalu diberkahi. Semoga engkau bisa mengerti nak, tidak perlu iri dengan anak-anak lain yang dibuatkan pesta khusus merayakan ulang tahun.

Abak sedang berusaha menjalankan syariat-Nya dengan baik, berusaha mendekatkan diri. Abak mengerti, bahwa agar engkau tumbuh menjadi anak yang baik, Abak harus yang pertama menjadi baik. Jika ingin engkau tumbuh menjadi anak yang berbudi, Abaklah yang harus berbudi terlebih dahulu. Sesungguhnya orang tua adalah teladan pertama seorang anak, sebelum kemudian ia menemukan teladan yang lebih baik nanti.

Menjadi orang tua itu tidaklah mudah. Berapa pun banyaknya buku parenting yang dibaca, sesekali emosi menguasai sehingga buyar semua teori tersebut. Tak jarang kami lupa bahwa engkau adalah anak kecil dengan logika yang belum terbangun. Bagimu hidup adalah permainan dan bersenang-senang. Engkau tumbuh dengan rasa ingin tahu yang besar, hampir selalu bertanya terhadap apa pun yang kau lihat dan rasakan. Kadang-kadang pertanyaan tersebut berulang, sehingga menimbulkan rasa gemas dan sedikit jengkel.

Nak, rasa penasaran dan ingin tahu itu hendaklah kau jaga terus menerus, sampai engkau menua kelak. Rasa ingin tahu adalah pendorong utama dari keinginan untuk terus belajar. Ketika engkau kehilangan rasa penasaran itu, maka hilang pula keinginanmu untuk belajar, sehingga lenyaplah kesempatanmu untuk maju.

Anak bujang sibiran tulang, ubek jariah palarai damam, hiduplah dengan keberkahan. Kami tidak akan mendikte jalan hidupmu, tapi berusaha memberikan bekal agar penjalanan hidupmu selalu berkah dan bahagia. Apa pun cita-citamu kelak, kejarlah! Tumbuhlah menjadi pribadi yang baik dan penyayang.

Cium Peluk
Abak

Seri Pahlawan Lokal: Padang (1)

Kita mungkin sering melihat banyak jalan di berbagai tempat yang memakai nama tokoh. Banyak jalan, apalagi jalan protokol, memakai nama pahlawan nasional, seperti Jalan Sudirman, Jalan Soekarno-Hatta, Jalan Ahmad Yani, dan lain-lain. Tetapi tak jarang kita melihat nama tokoh-tokoh yang tidak begitu banyak dibahas yang dijadikan nama jalan.

Aku adalah salah satu dari orang-orang yang penasaran dengan nama-nama yang cukup asing di telinga, tapi dijadikan nama jalan. Sepanjang perjalanan hidupku, aku pernah tinggal di beberapa kota yaitu: Bukittinggi, Padang, Bandung, Surabaya-Sidoarjo. Pada kota-kota tersebut, ada beberapa jalan yang memakai nama tokoh-tokoh yang merupakan pahlawan lokal daerah tersebut.

Pada seri pahlawan lokal ini, aku mencoba mengenalkan beberapa pahlawan lokal di kota-kota yang pernah aku tinggali. Pada postingan pertama, aku akan membahas beberapa tokoh-tokoh lokal yang dijadikan nama jalan atau nama gedung di Kota Padang. Tokoh-tokoh ini bukan tokoh yang berasal dari Kota Padang, namun dijadikan nama jalan di Kota Padang dan beberapa kota lain.

  1. Chatib Sulaiman

Jalan Chatib Sulaiman di Padang adalah salah satu jalan protokol. Masjid Raya Sumatera Barat berada di jalan ini, bersimpangan dengan Jalan Ahmad Dahlan. Jalan ini berada di daerah administrasi Kecamatan Padang Utara

Chatib Sulaiman adalah tokoh pergerakan dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia dilahirkan di Sumpur, sebuah nagari di Tanah Datar. Ia adalah putra dari Haji Sulaiman, seorang pedagang, dan Siti Rahma. Chatib kecil dididik dalam pola budaya Minangkabau. Ia bersekolah di Hollandsch Indlandsche School (HISAdabiah, Padang, dan kemudian melanjutkan pendidikannya di MULO.

Tahun 1930, Chatin Sulaiman pindah ke Padang Panjang yang saat itu menjadi pusat pergerakan di ranah Minang. Di sana ia mengajar di HIS Muhammadiyah dan menjadi penerjemah di sebuah lembaga kepanduan, El Hilaal. Pada tahun 1931, ia diangkat oleh Moch Hatta menjadi pimpinan partai PNI Baru khusus daerah Sumatera Barat. Pada tahun 1942, Chatib Sulaiman sempat ditangkap Belanda dan diasingkan ke Kutacane, Aceh, namun berhasil diselamatkan oleh tentara Jepang.

Pada pendudukan Jepang, Chatib Sulaiman diangkat menjadi pimpinan Giyugun, lembaga semimiliter, di Sumatera Barat.

Jabatan Sulaiman sebagai pemimpin Giyugun memberinya kesempatan untuk membangun dan membina kekuatan bersenjata yang dapat digunakan untuk mencapai Indonesia merdeka. Sebagai pemimpin Giyugun, Sulaiman mengarahkan para pemuda anggotanya untuk disiapkan menjadi seorang tentara untuk Indonesia merdeka. 

Pada tanggal 14 Januari 1949, Chatib Sulaiman sebagai Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah memimpin suatu rapat di Lurah Kincia, Situjuh Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Rapat diikuti Bupati Militer dan beberapa pimpinan pejuang lainnya serta puluhan orang pasukan pengawal. Hasil rapat memutuskan kota Payakumbuh yang sedang dikuasai Belanda harus diserang dari segala arah lalu mendudukinya untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa perjuangan rakyat Indonesia masih tetap ada. Hal ini dilakukan untuk melawan opini yang dibentuk Belanda bahwa Indonesia telah mereka kuasai sepenuhnya.

Keberadaan mereka akhirnya diketahui Belanda. Pada subuh hari tanggal 15 Januari 1949 saat para pejuang akan melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan oleh Belanda. Chatib Sulaiman dan beberapa pimpinan perjuangan beserta puluhan orang lainnya tewas seketika, diantaranya Arisun Sutan Alamsyah (Bupati Militer Limapuluh Kota), Letkol Munir Latief, Mayor Zainuddin, Kapten Tantawi, Lettu Azinar, Letda Syamsul Bahri serta 69 orang pasukan Barisan Pengawal Nagari dan kota (BPNK).

2. Johnny Anwar

Jalan Johnny Anwar di kota Padang terletak kecamatan Padang Utara, menghubungkan Ulak Karang dengan Lapai. Masyarakat Padang generasi 90-an pasti tahu dengan Bioskop President yang terletak di persimpangan Jalan Johnny Anwar dan Jalan Chatib Sulaiman.

Johnny Anwar adalah seorang pejuang kemerdekaan dan juga mantan perwira tinggi polisi. Ia juga merupakan kakak dari Rosihan Anwar, seorang tokoh pers nasional.

Ia berperan penting di kota Padang pada masa perjuangan fisik ketika pasukan Belanda dan sekutu kembali menduduki kota itu setelah kekalahan pihak Jepang dalam Perang Dunia II. Johnny pernah dipenjara oleh pihak penjajah karena sikapnya yang tidak mau bekerjasama dengan pihak Belanda dan sekutu.

Pada tahun 1946 ketika berusia 28 tahun ia diangkat sebagai Kepala Polisi Kota Padang dengan pangkat Komisaris Polisi kelas II. Setelah dibebaskan dari tahanan, pada tahun 1948, ia diangkat menjadi Kepala Polisi Kota Bukittinggi merangkap Kepala Polisi Kores Sumatra Barat. Pada tahun 1950 ia sempat ditugaskan untuk studi ke tiga kota di Amerika Serikat, San Fransisco, New York dan Washington selama 3 bulan.

Setelah masa revolusi fisik, Johnny Anwar menjalani karier kepolisiannya dengan berbagai jabatan dan bertugas diberbagai kota di Indonesia, diantaranya Kepala Polisi Komisariat Maluku di Ambon (1964), Panglima Angkatan Kepolisian (Pangak) XVIII Sulawesi Selatan-Tenggara di Makassar (1968) dan terakhir sebagai Komandan Operasi Bhakti Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) di Jakarta (1970-1972) sebelum pensiun.

3. Dr. M. Djamil

Dr. M. Djamil bukan sebuah nama jalan, tapi nama Rumah Sakit Umum Daerah di Kota Padang. RSUD ini terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan, Jati.

Dr. M. Djamil adalah seorang perintis kesehatan masyarakat dan dokter asal Indonesia yang lahir di Kayu Tanam, Padang Pariaman. M. Djamil adalah orang Indonesia pertama yang meraih dua gelar doktor.

Gelar doktornya yang pertama dengan titel Doctor Medicinae Interne Ziekten diperolehnya di Universitas Utrecht, Belanda pada 31 Mei 1932. Sedangkan titel doktornya yang kedua: Doctor of Public Health (DPH), diperolehnya dari Universitas Johns Hopkins, Baltimore, Maryland, Amerika Serikat pada 12 Juni 1934.

Pada tahun 1925-1927, M. Djamil melakukan riset di Koto Gadang dan Sianok mengenai penyakit TBC dan malaria. Dari hasil riset tersebut ia memperoleh penghargaan dari Ratu Wilhelmina. Dua tahun kemudian, ia pindah ke poliklinik Natal, Sumatra Utara. Disini ia kembali melakukan penelitian mengenai penyakit malaria. Melalui hasil risetnya itu, anggaran pemerintah yang telah ditetapkan untuk pemberantasan malaria bisa ditekan.

Pada tahun 1938-1939, ia ditugaskan pada Kantor Pusat Penyakit Malaria di Jakarta. Dalam risetnya M. Djamil menemukan cara baru untuk memberantas jentik-jentik nyamuk malaria dengan dedak. Serta peran selaput protozoon di atas air terhadap penjangkitan malaria. Karena keberhasilannya dalam riset tersebut, dr. Overbeek Kepala Bestrijding di Indonesia, memberikannya titel malarialoog (ahli malaria).

Selain di bidang kedokteran, M. Djamil juga aktif berpolitik. Ia yang terafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia, sempat menjadi Ketua Komite Nasional Sumatra Barat, Residen Sumatra Barat, Gubernur Muda Sumatra Tengah, sekaligus Gubernur Militer Sumatra Tengah. Ia juga berperan besar dalam pendirian Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas di Bukittinggi.

4. Bagindo Aziz Chan

Masyarakat Padang tahun 90-an pasti akrab dengan Gedung Pertemuan Bagindo Aziz Chan. Gedung Serba Guna yang terletak di depan Taman Imam Bonjol. Gedung ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti: perpisahan, pertemuan, dan acara lainnya.

Bagindo Aziz Chan  adalah seorang guru dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan Wali Kota Padang kedua setelah kemerdekaan, yang dilantik pada tanggal 15 Agustus 1946 menggantikan Mr. Abubakar Jaar.

Bagindo Aziz Chan lahir di Kampung Alang Laweh, Kota Padang. Ia adalah anak keempat dari enam bersaudara, buah pernikahan Bagindo Montok dan Djamilah. Bagindo Aziz Chan mengenyam pendidikan HIS di Padang, MULO di Surabaya, dan AMS di Batavia. Ia sempat dua tahun duduk di Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) dan membuka praktik pengacara. Ia juga aktif di beberapa organisasi, di antaranya sebagai anggota pengurus Jong Islamieten Bond di bawah pimpinan Agus Salim.

Setelah proklamasi kemerdekaan, ia ditunjuk sebagai Wakil Wali Kota Padang pada 24 Januari 1946 dan pada 15 Agustus 1946 dilantik sebagai wali kota menggantikan Mr. Abubakar Jaar, yang pindah tugas menjadi residen di Sumatra Utara.

Di tengah situasi pasca-kedatangan Sekutu di Padang pada 10 Oktober 1945, ia menolak tunduk terhadap kekuatan militer Belanda yang berada di belakang tentara Sekutu. Ia terus melakukan perlawanan dengan menulis di surat kabar perjuangan Tjahaja Padang, bahkan turun langsung memimpin perlawanan terhadap Belanda sampai akhirnya meninggal pada tanggal 19 Juli 1947. Ia juga berpidato di depan umum, “Langkahilah dulu mayatku, baru Kota Padang saya serahkan”.

Pada 19 Juli 1947 sore hari, Bagindo dan keluarga bertolak dari Padang menuju Padang Panjang. Di daerah Purus, rombongannya dicegat oleh Letnan Kolonel Van Erps yang memberitahukan telah terjadi insiden di Nanggalo yang merupakan daerah garis demarkasi Belanda.

Menurut versi Belanda, ketika Bagindo turun itu dari mobil Jeep yang mengantarkannya di daerah Nanggalo itu, ia tertembak di lehernya dan dibawa ke sebuah rumah sakit di Padang.

Abak dan Motor Tuanya

Bulan Juni tahun 2022 Bundo Daru akhirnya bekerja lagi, setelah 2,5 tahun menjadi fulltime mother untuk Daru. Karena motor di rumah hanya ada satu, dan jam kerja kami tidak sama, maka perlu dibeli satu motor lagi untuk menunjang transportasi kami. Motor baru bukanlah alternatif, karena tidak sesuai budget dan aku sedang berusaha menghindari membeli sesuatu dengan sistem kredit. Oleh karena itu, maka aku mencari beberapa alternatif motor bekas.

Setelah mencari beberapa saat, aku menemukan iklan motor Honda win 100 tahun 1994. Kondisi masih bagus, mesin lancar dengan suara yang masih merdu. Setelah dilihat dan dicoba dikendarai, maka besoknya langsung dibayara dan diambil.
Mengapa harus motor lama? Bukankah motor bekas banyak pilihan dengan tahun yang lebih muda?

Sebenarnya aku sudah lama mengidamkan membeli motor laki (motor kopling) tua, yaitu Honda GL Max. Dulu tahun 2014 sempat ditawarin sama salah seorang senior, dan langsung suka. Tetapi karena waktu itu belum ada dananya, dipendam dulu jadi cita-cita.

Ada beberapa alasan mengapa harus motor tua jenis ini. Pertama karena bentuknya retro, dan menarik menurutku. Bentuk tangkinya yang cukup datar dan tidak terlalu besar, menambah kenyamanan berkendara. Kedua, motor ini nyaris tanpa komponen elektronik yang rumit, semua manual. Beberapa kerusakan minor bisa diperbaiki sendiri.

Komentar pertama Bundo Daru adalah, “Cocok, Bak. Retro, sama kayak Abak. Hahahaha” Ini antara ejekan dan pujian, tapi tidak apa.

Memiliki motor tua itu, ada perasaan berbeda. Ketika hampir semua orang memakai motor matic, bebek, atau motor sport, aku dengan santai memakai motor tua membelah kota ini. Ternyata, populasi Honda Win 100 di kota ini tidak terlalu banyak. Selama berkendara bolak-balik kantor–rumah, jarang sekali aku berpapasan dengan motor yang sama. Kalau Honda GL, cukup sering.

Apakah memiliki motor tua itu merepotkan? Iya dan tidak. Harus diakui, barang tua tidak sesempurna barang baru. Ada saja masalah (untungnya minor) selama beberapa bulan memiliki motor tua. Mungkin karena pemilik lama cukup resik dalam memelihara motornya, jadi tidak terlalu banyak masalah di motornya.

Mungkin karena ini termasuk hobi dan memang suka, jadinya segala masalah dihadapi dengan senang saja, tidak usah mengeluh panjang lebar. Banyak lihat video di Youtube, baca artikel, dan tidak usah terlalu agresif dalam mengendarai motor. Biar motor tua tidak semakin ringkih dan renta.

Sepucuk Surat untuk Anakku (XI): Tiga Tahun Daru, Lima Tahun Abak dan Bundo.

Kepada Anak Bujang Tercinta,

Daru Lintang Segara

Tanggal 1 Juli ini engkau genap berusia tiga tahun. Sudah lebih seribu hari engkau menghirup udara bebas di dunia ini. Selama itu pula kami, Abak dan Bundo, menjalani peran sebagai orang tuamu. Sungguh, kehadiranmu adalah hadiah ulang tahun pernikahan terbaik kami, sehari setelah engkau lahir, 2 Juli.

Kehadiranmu setelah kami menikah selama dua tahun, semakin melengkapi keluarga ini. Rumah yang biasanya hanya terdengar suara percakapan kami, sesekali diiringi suara televisi, kini bertambah meriah dengan suara tangis, rengek,celoteh, dan tertawamu. Kehadiranmu menambah satu lagi alasan Abak untuk pulang. Adanya dirimu di rumah, semakin membuat Abak berat untuk berlama-lama meninggalkan rumah. Dua hari saja, waktu maksimal Abak mampu berpisah dari dirimu. Lebih dari itu, rindu akan menyergap dengan kuat.

Daru, tiga tahun usiamu diiringi dengan lima tahun usia pernikahan Abak dan Bundo. Waktu yang tidak sebentar untuk terus belajar menjadi seseorang yang lebih baik, untuk Bundo, untuk Daru, dan untuk diri Abak sendiri.

Harus diakui, Abak bukanlah sosok Ayah sempurna untuk engkau. Sangat jauh dari sosok Ayah sempurna. Terkadang masih tidak bisa sabar menghadapi berbagai macam polah tingkahmu, yang sudah memasuki usia threenager. Sungguh, menjadi orang tua adalah proses belajar tanpa henti.

Di usia tiga tahun ini, Bundo mulai kembali kerja, tidak jauh dari rumah. Engkau sementara dititipkan di daycare, bermain bersama bunda-bunda yang mengasuh, dengan teman-teman seumuran. Abak yang mengantarkan engkau di pagi hari, kemudian Bundo yang akan menjemput di sore hari.

Hari pertama engkau di daycare, hati kami yang tidak tenang, khawatir engkau tidak bisa menyesuaikan diri, menangis minta pulang, dan kekhawatiran lainnya. Tapi alhamdulillaah, kekhawatiran itu tidak terjadi. Engkau baik-baik saja di sana, bahkan cukup senang karena bermain dengan teman-teman.

Daru, semoga engkau tumbuh sehat, menjadi anak sholeh, cerdas, berakhlah mulia, dan dicintai serta mencintai sesama. Doa terbaik selalu kami sampaikan untukmu.

Cium Peluk Penuh Cinta

Abak

Sepucuk Surat untuk Anakku (X): Rumah Jelajah

Dear Anak Bujang Sibiran Tulang

Daru Lintang Segara

Alhamdulillah, akhir Februari 2022 kita kembali pindah rumah, namun insya Allah kali ini akan menjadi rumah permanen. Masih di komplek perumahan yang sama dengan rumah sebelumnya, hanya berbeda gang.

Pindah rumah kali ini masih dibantu sama Om Henky, dan dua urang teman kantor Abak. Karena tidak terlalu jauh, proses memindahkan barang-barang bisa dilakukan dengan cepat. Sebelumnya Abak dan Bundo juga sudah mulai menyicil memindahkan barang-barang yang bisa diangkut dengan motor, seperti kardus-kardus ukuran kecil dan menengah.

Rumah ini Abak dan Bundo namai Rumah Jelajah, karena ini adalah rumah kita, para penjelajah yang senang berjalan. Rumah bernuansa abu-abu ini awalnya adalah rumah ukuran 36 m2, namun kemudian direnovasi dengan menambah dapur dan satu kamar di lantai 2. Desainnya tentu saja dari Bundo, arsitektur, desain interior, dan fashion stylist keluarga.

Masih banyak PR yang harus diselesaikan. Mulai dari taman depan dan belakang, menanam TOGA (Tanaman Obat Keluarga), kebocoran di atap, dan membuat beberapa perabot tambahan. Dicicil sedikit demi sedikit saja, sesempatnya.

Sekarang favorit Daru adalah menonton pipa air, terutama jika hujan. Mengamati air yang hujan pada pipa talang air. Bermain tanah di taman juga salah satu kegiatan yang engkau senangi, tidak lupa bermain sepeda di jalan paving di depan rumah.

Mudah-mudahan lingkungan baru ini akan lebih baik dari lingkungan-lingkungan sebelumnya, sehingga bisa menjadi tempat tumbuh yang baik nanti untuk dirimu.

Sepucuk Surat untuk Anakku (IX) Tiga Puluh Bulan Daru

Dear Anak Bujang Sibiran Tulang

Daru Lintang Segara

Januari ini engkau sudah berusia tiga puluh bulan, atau dua setengah tahun.  Engkau tumbuh menjadi anak yang sehat, semakin cerewet dan lincah. Engkau sudah mampu berbicara dengan satu kalimat lengkap, walau masih ada kata-kata yang kadang kami harus dengar beberapa kali supaya paham maksudnya.

Selama tiga puluh bulan ini juga, kami berusaha dan belajar menjadi orang tua yang baik bagi dirimu. Tak bisa kami pungkiri, bahwa kami masih belum mampu bersabar menghadapimu. Tak sekali atau dua kami berlaku lalai, dan bertindak tidak semestinya.

Sepucuk Surat untuk Anakku (VIII): Pulang Kampung

11 Oktober 2021

Dear Bocah Kelana, anak yang lebih senang berada di padang rumput daripada di mall.

Daru Lintang Segara

Akhirnya kita bisa mengunjungi kampung halaman Bundo dan Abakmu, Kapau, setelah diundur berbulan-bulan akibat PPKM. Sedikit mendadak, hari Rabu 1 September dapat izin cuti, beli tiket, hari Sabtu test Swab-PCR, dan Senin sudah berangkat ke Padang. Untungnya peraturan bandara Juanda Surabaya memberikan kebebasan ke maskapai untuk perizinan anak di bawah dua belas tahun terbang. Dari Citilink, syarat anak usia di bawah dua belas tahun hanya surat keterangan sehat dari dokter (yang bahkan ketika di bandara tidak diperiksa sama sekali.)

Alhamdulillah perjalanan Surabaya–Padang berjalan baik, tidak ada halangan berarti. Bahkan, tidak ada keterlambatan pesawat. Engkau dengan antusias memandang keluar jendela, bertanya apa pun yang kamu lihat. Penerbangan pertamamu yang menyenangkan sepertinya. Tak lama engkau tertidur pulas di pangkuan Bundo.

Saat transit di Jakarta pun, engkau dengan antusias memandang ke luar. Akhirnya kali ini benar-benar memandang dari dekat pesawat yang selama ini engkau hanya tahu bentuk mainannya saja. Sebelumnya juga sudah pernah diajak Om Henky ke tempat kerjanya, melihat langsung pesawat dari hanggar, namun jenis pesawat yang berbeda.

Ketika mendarat di Padang, kita dijemput oleh Nenek, Simbah, Nek Angah, dan Aki. Tidak butuh waktu lama engkau untuk kembali akrab dengan Nenek. Mungkin engkau masih ingat “bau tangan” Nenek yang dulu merawatmu di bulan-bulan pertama usiamu. Perjalanan Padang–Bukittinggi disambut hujan lebat, seakan kita diberkahi.

Bahkan, tiga minggu kita di kampung belum membuat kita menjelajahi Sumatera Barat sepenuhnya. Abak hanya bisa libur total seminggu, dua minggu berikutnya tetap harus mengajar, walau online. Namun, kita bertiga sudah mengunjungi berbagai tempat yang indah di sekitar kampung. Kau bisa lihat tempat-tempat apa saja yang sudah kita kunjungi di galeri poto yang disimpan Bundo.

Tiga minggu di Sumatera Barat benar-benar mencuci mata dan paru-paru. Udara yang segar, pemandangan yang asri dan hijau, membuat kita sejenak melupakan Sidoarjo yang panas dan gersang. Udara sejuk dan dingin menyapa setiap kali kita membuka mata di pagi hari. Tak jarang pagi dihiasi kabut, hal yang sudah lama sekali kami lihat sejak meninggalkan Bandung.

Ada beberapa daerah yang belum sempat dikunjungi, namun setidaknya waktu tiga minggu sudah cukup memuaskan rasa rindu kami, Abak dan Bundo, kepada kampung halaman. Nenek-nenekmu juga akhirnya bisa bertemu langsung, tidak lagi hanya melalui video call.

Entah kapan lagi kita akan diberikan kesempatan kembali bisa pulang kampung. Entah kapan lagi kita diberikan kesempatan bertemu dengan nenek-kakekmu. Bisa jadi itu adalah pertemuan terakhir, atau bisa jadi kita akan diberikan kesempatan bertemu lagi. Satu hal yang pasti, masa-masa kita di kampung adalah masa-masa yang harus dihargai dan dikenang. Tidak ada satu pun yang tahu pasti bagaimana masa depan nantinya. Hargailah waktu dengan orang-orang tersayang sebagai sebuah masa yang harus diisi dengan kenangan indah.

Di mana pun kamu nanti akan hidup, yang harus kamu ingat adalah daerah asalmu, Kapau. Seberapa jauh engkau merantau nanti, pastikan kamu tidak melupakan daerah asalmu ini. Abak dan Bundomu berasal dari kampung halaman yang sama, Kapau.

Semoga engkau selalu dilimpahkan kesehatan, keselamatan, dan keberkahan dalam hidup ini, Nak.

Peluk cium
Abak



Darma Eka Saputra

Sepucuk Surat untuk Anakku (VII): Dua Tahun jadi Abak Daru

1 Juli 2021

Dear Anak Bujang Sibiran Tulang, Paubek Jariah Palarai Damam

Daru Lintang Segara

Selamat dua tahun, Daru the Explorer, si Sobat Hujan. Selamat telah menjalani hidup di dunia ini lebih dari tujuh ratus hari, menemani hari-hari kami, mewarnai hidup kami selama 24 bulan ini.

Dua tahun ini engkau menjadi bagian dalam keluarga kecil kami, mengajari kami banyak hal. Engkau melatih kami menjadi orang tua, membentuk kesabaran kami dalam menghadapi segala macam tingkah polahmu. Setiap hari kami terus belajar menjadi orang tua, dengan segala visi keluarga ini. Setiap hari kami terus berusaha menjadi lebih baik, supaya engkau tidak menyesal memiliki orang tua seperti kami.

Nak, di pertengahan tahun ini, pandemi Covid-19 di Indonesia mulai memuncak lagi. Angka masyarakat yang terinfeksi meningkat drastis, bahkan orang yang ada di sekitar kita sudah mulai tertular. Ketersediaan oksigen menipis, bahkan ada berita pasien covid-19 meninggal karena tidak ada lagi stok oksigen. Salah seorang sahabat, sesama relawan di Masjid Salman ITB, telah mendahului kita akibat pandemi ini. Sedih nak, ketika seseorang yang kamu kenal, harus meninggalkan dunia ini terlebih dahulu. Lebih sedih lagi, almarhum meninggalkan anak-anak yang masih sangat kecil. Ya Allah, semoga mereka semua Engkau lindungi dan berkahi.

Nak, di ulang tahunmu yang kedua ini, Abak tidak tahu lagi harus bercerita apa lagi. Akibat pandemi dunia sedang kacau balau. Mungkin saja kemanusiaan lama-lama akan terbunuh, karena orang-orang ketakutan dan mulai memikirkan dirinya sendiri, entah ia masih ingat akan keluarganya atau tidak. Hari-hari ke depan tidak akan semakin mudah, doa yang banyak dan sabar yang luas yang menjaga kewarasan kita.

Nak, kami ingin mewariskan dunia yang lebih baik untukmu, namun melihat kondisi sekarang, hanya doa yang kami lebihkan untukmu. Semoga engkau diberkahi punggung yang lebih kuat, mata yang lebih tajam, kaki yang lebih tangguh melangkah menjalani hidup yang tidak semakin mudah ini. Mudah-mudahan kami pun menjadi lebih kuat dalam mengasuhmu, mengasihimu, dan mendidikmu.

Terima kasih atas dua tahun ini, Daru anakku. Semoga tahun-tahun ke depan kita akan terus diberkahi kebahagiaan, dan kesehatan. Semoga kita semua terhindar dari wabah ini, diberkahi kekuatan dan imunitas. Maafkan Abak dan Bundo yang masih belum mampu menjadi orang tua yang sempurna untukmu. Maafkan atas kekurangan dan kekeliruan kami.

Semoga hidupmu berkah dan bahagia.

Peluk cium

Abak