Laki-laki di Minangkabau

Membaca artikel dari Wahyu Wicaksono pada Kompas edisi 3 Februari 2009, saya jadi tergelitik untuk sedikit menanggapi dan mencoba meluruskan beberapa kesalahpahaman.

Di salah satu paragrafnya tertulis:

“Budaya petani Minangkabau menempatkan suami dalam posisi dipelihara oleh perempuan. Suami ditinggal di luar rumah dan sekali-kali digunakan untuk kepentingan hubungan seks. Posisi ini dianggap para suami sebagai posisi incibidu yang tidak memiliki harga diri dan mendorong mereka bermigrasi ke Indochina mencari pekerjaan dan kondisi hidup yang lebih baik.”

Minangkabau merupakan suku yang menganut paham matriakat. Maksudnya garis keturunan diwariskan berdasarkan garis keturunan ibu. Harta pusaka keluarga (pusako tuo) juga diwariskan pada keturunan ibu. Selain itu, suku anak juga mengikuti suku ibunya. Jika seorang ibu sukunya adalah Chaniago, maka suku anaknya juga Chaniago.

Laki-laki dalam keluarga di Minangkabau berperan sebagai seorang ayah bagi anak-anaknya dan sebagai mamak (paman) bagi kemenakannya (anak dari saudara perempuannya). Keduanya memiliki fungsi dan peran yang berbeda dan saling mengisi. Sebelum kita membahas peran lalki-laki kita kaji terlebih dahulu cara masayarakat Minangkabau mendidik anak laki-laki.

Setelah anak laki-laki memasuki masa akil balighnya, mereka tidak diperbolehkan lagi tidur di Rumah Gadang keluarga ibunya. Mereka akan tidur bersama-sama di Surau (musholla/langgar). Disini mereka belajar ilmu agaman berlatih silat, belajar bersosialisasi, berdiskusi tentang adat, agama, barandai, dan sekaligus menjaga keamanan Nagari mereka. Pendidikan di surau membentuk kepribadian yang berani, tidak hanya berani berbuat, tapi juga berani mengutarakan pendapat.

Anak laki-laki sangat dianjurkan untuk merantau, seperti kata pepatah Minangkabau “Karatau madang di hulu, babuah babungo alun. Marantau bujang dahulu, di rumah baguno alun” . Maksudnya anak laki-laki dianjurkan untuk merantau, mencari ilmu, mencari pengalaman, dan kehidupan yang lebih baik, dan nantinya diharapkan kembali ke kampung halaman untuk membangun dan mengembangkan nagari atau istilahnya “Mambangki batang tarandam”

Jika seorang laki-laki Minang menikah, ia tidak akan tinggal di Rumah Gadang keluarganya, melainkan di Rumah Gadang istrinya. Ia adalah sumando bagi keluarga istrinya, dan setelah menikah ia tidak boleh lagi dipanggil dengan nama kecilnya. Laki-laki Minang “Ketek banamo, gadang bagala”, sehingga ia harus dipanggil dengan gelar yang merupakan warisan dari niniak mamak.

Di rumah keluarga istrinya, ia ibarat “Abu di ateh tunggua”. Ia adalah orang yang bias pergi sewaktu-waktu jika bercerai dengan istrinya. Jika terjadi pertemuan keluarga di rumah gadang, ia duduk membelakangi kawar dan menghadap ke arah pintu. Melambangkan bahwa ia adalah seorang pendatang dan bisa keluar rumah sewaktu-waktu.

Sebagai ayah dan suami, ia bertanggung jawab menafkahi keluarganya. Kesejahteraan istri dan anak-anaknya berada di pundaknya, dan juga pendidikan formal anak-anaknya.

Di Rumah Gadang keluaraganya, laki-laki adalah seorang mamak. Bersama dengan Bundo Kanduang ia menjaga dan mengelola harta Pusako Tuo. Selain itu ia bertanggung jawab mendidik kamanakannya. Pendidikan ini maksudnya bukanlah pendidikan formal, melainkan pendidikan adat, etika, dan tata krama. Itu sebabnya di Minangkabau jika seorang anak melanggar aturan adat atau etika, yang akan disalahkan adalah mamak, buan orang tuanya.

Dalam pernikahan, yang menjadi wakil masing-masing keluarga adalah mamak dari pengantin, bukan orangtuanya. Para mamaklah yang melamar, menerima lamaran dengan pertimbangan dari orang tua kedua pengantinnya, menentukan tanggal, dan berdiskusi dan negosiasi tentang hal-hal terkait pernikahan kamanakannya. Dalam Baralek (kenduri) yang membuka dan melakukan kato sambah adalah mamak.

Dalam pertemuan keluarga di Rumah Gadang mamak duduk menghadap ke kamar, membelakangi pintu. Maksudnya mamak mengawasi kamanakan dan rumah gadang keluarganya.

Jadi laki-laki di Minangkabau bukanlah sebagai objek seksual. Kedudukan laki-laki di suku yang metrilineal ini sangatlah terhormat. Mamak dan ayah saling mengisi dalam mendidik dan membesarkan anak. Di rumah gadang istrinya ia adalah seorang suami dan ayah, dan di rumah gadang keluarganya ia berperan sebagai mamak. Hal ini digambarkan oleh pepata minang “Anak dipangku, kamanakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan”.


ITB trus gimana??

Pada tahu kan kasus meninggalnya mahasiswa GD 07 ITB pas pelantikan IMG?? Ga, gw ga akan ngebahas siapa yang salah dan siapa yang benar, cuma mo sedikit meramal (emang mama lauren??) gimana kemahasiswaan ITB berikutnya…

Setelah kejadian itu, rasanya ruang gerak kemahasiswaan ITB akan semakin sulit. Presiden KM yang baru nih, harus siap menghadapi segala macam kemungkinan yang mungkin terjadi.

1. Segala macam bentuk kaderisasi, PPAB, PPAM, kemungkinan akan dilarang. Jadi pemerimaan anggota baru di organisasi mungkin hanya kumpul2 makan2, dan udah gitu aja. Kalau teman2 dari organisasi kampus baik itu Unit atau Himpunan berniat mengadakan acara pelantikan di luar kampus, jangan berharap banyak deh. Kalau mau backstreet (pacaran kali ye…) harus siap dengan resiko..

2. OSKM, PMB, atau INKM jangan berharap ada lagi tahun 2009. Mungkin kejadian OSKM 2006 akan terjadi lagi, dan kali ini mungkin bener2 akan ada DO.

3. KM ITB akan mendapatkan tekanan dari rktorat dan temen2 kampus. Pertentangan antara temen2 massa kampus dan rektorat mungkin akan semakin panas. Sebenarnya bukan pertentangan juga sih, tapi lebih ke perbedaan pendapat. Atau mungkin temen2 kampus akan bersatu, ya mungkin sih.

4. Ga bakal ada lagi acara kampus ampe malam, jam 5 kampus udah ditutup. (mungkin ga sih??)

ga tahu jga sih, itu baru kemungkinan-kemungkinan yang gw pikir bisa saja terjadi. ITB kan ga mau nyari repot lagi, pasti sekarang akan nyari aman aja. jadi, siap2 aja…

 

Mahasiswa = Anarkis ??

Buat temen2 mahasiswa, jangan protes dulu. Pada tau kan kejadian kemaren, di demonstrasi anarkis yang mengakibatkan Ka DPRD Sumut meninggal karena serangan jantung setelah sebelumnya sempat disandera dan dikeroyok oleh demonstran yang katanya terdiri dari mahasiswa, pemuda, dan masyarakat.

Gw liat rekaman aksi nya, parah banget, begitukah yang namanya mahasiswa bertindak menyampaikan aspirasi, dengan kekerasan, menghancurkan fasilitas?? Dengan memakai Jaket Almamater nya, merusak, menghancurkan. Itukah yang dulu diajarkan??

sebelum-sebelumnya kita liat juga, mahasiswa tawuran. Ya ampun, kalian itu mau jadi apa?? Inikah jadinya soekarno-Soekarno muda, Hatta-hatta muda? mau jadi apa bangsa ini kalau pemuda nya kayak kalian??

AKU TIDAK MENGAKUI KALAU KALIAN ADALAH MAHASISWA, KALIAN TAK LEBIH DARI BAJINGAN SOK PREMAN. KALIAN SAMA SAJA DENGAN ORANG-ORANG YANG KALIAN PROTES.

Gw juga bukan lah mahasiswa ideal, gw ngedukung klw mo ngadain aksi, tai no anarki. Apakah setiap masalah bisa diselesaikan dengan kekerasan? atau kalian masih terlena dengan tragedi Mei 98?

Itu beda cerita bung.

Malu lah kalian sama orang tua kalian kalau masih aja kek gitu. Lompat aja lah ke neraka kalian.

Pandangan masyarakat terhadap kalian itu sudah jelek. Mana peran kalian sebagai Iron stock, mana peran kalian sebagai agent of change?? boong besar semuanya.