Duhai Ibu Pertiwi
lihatlah kami anak-anakmu,
terlena dimanja teknologi
disuapi informasi terus menerus tanpa jeda
tertipu ilusi maya, dan tenggelam dalam hayal tak tentu
mencari kesenangan dalam mimpi
Perhatikan kami Ibu
kami generasi yang bermain-main dengan kelamin
berlari-lari dalam pelacuran, berbayar atau tidak
terjebak kubangan nafsu purba
Kami adalah anak-anakmu yang anarkis
kesenangan kami adalah merusak,
kecintaan kami adalah penindasan
Kekasih kami perkelahian, dan
bercumbu dengan keegoisan kami
Cintai kami Ibu, Generasi yang religius.
arta adalah tuhan untuk kami,
tahta tujuan kami, surga kami,
bernabikan kekuasaan
ibadah dengan pesta pora
perhatikan kami berenang dalam kabut mariyuana
tertidur nyenyak di atas kasur candu
dalam nyamannya selimut narkotika
Jangan takut Ibu Pertiwi
walau kami dibutakan harta dan tahta
tak lupa kami bersedekah dalam keapatisan
keegoisan dan ketidakpedulian
Popularitaslah jalan Sufi kami
kecantikanlah “Rumi” kami
Saat kami terbelenggu kemiskinan, rendah terhina
kami masih bebas merampok, mencoleng
tak terhalang memperkosa
Banggakah engaku pada kami Ibu?
Tubuh-tubuh indah, rambut cantik
kami pamerkan, kami tunjukkan, kami pertontonkan
kami terpelajar, berpendidikan tinggi
bekerja di perusahaan multi-nasional.
walau kami terjebak kebodohan
selalu ada jalan untuk hidup
di lorong-lorong selokan, berteman dengan tikus-tikus berdasi
menjadi budak coro-coro dunia hitam
Siapakah bapak kami wahai Ibu yang Bijaksana
para pendahulu kami adalah anak perjuangan
dan engkau melahirkan Soekarno, Hatta, Syahrir, Natsir, Diponegoro dan Hasanuddin
Siapakah ayah kami wahai ibu yang selalu dian?
sehingga kami menganut ajaran kekerasan
berkiblat materialistis, menjadi budak Eros
Kenapa setelah engkau menikah dengan Kemerdekaan
engkau melahirkan anak-anak seperti kami?
dan anakmu yang lurus terkucilkan
bersusah payah berjuang melawan arus
Tertawakan kami ibu
saat terseok berjalan lurus
saat serak suara kami meneriakkan kebenaran
karena tidak ada yang membimbing, mendengan, melihat, memperhatikan
Biarkan saja
ketika kami terjebak roman picisan
terpaku romantisme masa lalu
lalu sadarkan
ketuk jantung hati
sembuhkan impotensi kami
sehingga anak-anak kami bangga.
Dharma Poetra
Februrari 2011