Asta Brata (8 Kewajiban Negarawan). Petunjuk memimpin negara dalam kisah Ramayana

Delapan Brata, teladan Delapan Dewa

genap delapan jumlahnya

jangan kurang, jangan cacat, demi negara

Indra yang pertama, disusul Surya

kemudian Bayu, lantas Kurewa

Baruna, Yama, Candra, Brama

Teladan Delapan Dewa

Indra (Dewa Hujan, Dewa Petir), parfum dunia

penghambur derma dan dana

rata ke seluruh semesta

adil tiada membeda

walau sanak saudara

jika jadi penjahat

pasti

bunuhlah dia

Surya (Dewa Matahari) yang menyejukkan

sabar tidak semaunya

tabah tanpa amarah

diam penuh kehalusan

tanpa sakit tanpa terasa

tapi tercapai tujuan

Bayu (Dewa Angin) mengawasi semesta

kehendak alam memutar buana (dunia)

tanpa batas tanpa tanda

menemukan hasrat alam

mengenali gerak-gerik kawula

itulah pesannya

mengetahui isi hati kawula

Kuwera (Dewa Kekayaan) penjaga gudang

sandang pangan jasmani dunia

mengatur haluan negara

tak pernah lupa dan percaya

diberikannya semua

asal sungguh setia

tanpa pamrih dan tanpa batas

Baruna (Dewa Laut) selalu bersenjata

siang malam menjaga negara

ilmu pengetahuan jadi pedoman

agar mengungguli jagad

siapapun tak jujur teratasi

siapa buruk siapa baik

segera ditanggulangi

Yama (Dewa Kematian) pencabut nyawa

ke mana laknat pergi

ke sana ia mencari

buru, usut, lacak

sampai porak-poranda

musnahkan sampah negara

Candra (Dewa Bulan) pengampun

damai dan tertawa

senyuman warna negara

enak semua perintahnya

kesayangan para pendeta

Brahma (Dewa Pencipta)

bergairah hadapi musuh

mengerti para prajurit

musnahlah para penyerang

luluh dan lantak

tundukkan dengan hatimu

 

Disalin dari buku karangan Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Kitab Omong Kosong

“Dipoles dan dibolak-balik dari Asta Brata dalam Serat Rama (Kiai Yasadipura, Semarang, 1919).

 

Setelah Fajar

Tak terpejam mata

nyalang setelah subuh

ditiup-tiup dingin

menunggu mentari terbit

 

Sayup-sayup suara lelaki

mengaji menyambut pagi

lamat-lamat terdengar tangis

bocah kecil kehilangan hangat peluk ibunya

 

Ambil cangkul, dahului sang Surya

berjalan tertatih menuju ladang

berharap panen

 

Di pantai, pulang melaut

dan tangkapan diborong tengkulak

menyisakan sedikit dibawa pulang

sekedar makan beberapa hari

 

Begitu juga wanita bergincu merah

membuka pintu rumah

setelah pintu kamar ditutup oleh pelanggan terakhir

tertidur letih memeluk si kecil

 

Gelandangan meringkuk di emperan

dihembus-hembus dinginnya pagi

berselimut koran yang tertiup entah kemana

 

Tak lama lagi matahari terbit

Tak lama lagi jalanan ramai

Tak lama lagi pintu-pintu dibuka

Tak lama lagi orang lalu lalang

 

dan pada saat itulah…….

Hidup dan Perjalanan

Ketika perjalanan harus berhenti

lalu apa yang harus kulakukan?

Aku hidup karena perjalana

Aku berjalan karena hidup

Aku berjalan karena harus

Aku berjalan karena ingin

Aku berjalan bukan lari

Aku terbakar dan berjalan

Aku bersinar dan berjalan

Aku hidup

Aku berjalan

Burangrang, 09062012

Warung Kopi

Warung Kopi, apapun itu bentuknya, apapun itu namanya. Kalian bisa menyebutnya Starbucks, Roemah Kopi, Ngopi Doeloe, Terminal Kopi, Warkop Narji, selama menyediakan kopi, apapun jenisnya, apapun mereknya, tapi bagi gw itu adalah Warung Kopi.

Warung Kopi tidak hanya sekedar tempat minum secangkir kopi, membakar sebatang rokok lalu pulang. WarKop adalah tempat ngobrol, tempat curhat, tempat diskusi dan tempat menyelesaikan masalah.

Gw menikmati WarKop seperti yg gw tulis diatas. Gw pernah diskusi ampe bego di warung kopi. Jaman-jaman INKM 2008, WarKop di sebelah Wisma Dago saksinya. Menyelesaikan konflik INKM dg OHU, cerita-cerita gila dan gajelas dengan panitia INKM, diskusi dengan tokoh-tokoh KM-ITB (kabinet dan kongres), dengan sesepuh KM-ITB.

Gw pernah curhat di WarKop dengan teman dan teman-teman, ampe subuh. McCaffee dan Terminal Kopi adalah saksinya.

Nonton bola ampe teriak-teriak, maen kartu ampe kalap, bahkan duduk sendirian sambil merenung pernah gw lakukan di WarKop.

Bagi gw WarKop bisa jadi sumber inspirasi, duduk sendirian mengamati orang yang keluar-masuk, membaca, menulis dan internet gratis (heuheuheu).

Seperti apa WarKop buat kalian?

Bermain dengan Alam

Saya kebetulan dianugerahi kesenangan untuk bermain di alam terbuka. Senang berada diantara hijaunya rimbun pepohonan, senang mendengarkan simfoni binatang malam di puncak gunung, menikmati paduan suara ombak berdebur riang berkejaran, dibelai gemericik air sungai yang jernih.

Salah satu hal yang saya pahami, bermain di alam, mendaki gunung, mengarungi sungai bukanlah untuk kebanggaan diri. Saya bukanlah menaklukkan tingginya gunung, menaklukkan derasnya sungai, tapi sebenarnya adalah berdamai dengan mereka. Alam ini terlalu tangguh untuk ditaklukkan.

Untuk apa jauh-jauh mendaki gunung di seberang pulau, kalau gunung di sekitarmu belum kau sentuh, belum kau rayu? Untuk apa jauh-jauh, kalau dirimu belum berdamai dengan Alam?

Pengalamanan saya bermain di alam terbuka memang masih sedikit, sangat sedikit. Yang saya pelajari, sangat jauh berbeda perlakuan orang-orang yang sering bermain di alam dengan orang yang baru berkenalan dengan alam.

Saya belajar bahwa mereka yang berpengalaman di alam itu lebih rendah hati, tak takkabur karena alam jauh lebih kuat dari mereka. Bagi mereka alam seperti halaman belakang rumah mereka yang mereka jaga keasrian, kebersihannya.

Saya diajari bahwa meremehkan alam hanya akan membawa celaka. Bersahabat dengan alam, maka ia akan memberikanmu hidup, makanan, minuman.

Saya jujur pernah merasa sombong karena senang main di alam, dan akhirnya takluk oleh alam. Saya jatuh cinta, sehingga kesombongan itu perlahan tunduk. Terlalu indah bagi saya untuk sombong, saya terlalu kecil untuk sombong di alam.

Ya tapi ini anggap aja hanya ocehan-ocehan tidak penting dari saya. Pengetahuan dan pengalaman saya di alam sangat sedikit, masih cupu, belum apa-apanya dibandingkan yang lain.