Sepucuk Surat untuk Anakku (VIII): Pulang Kampung

11 Oktober 2021

Dear Bocah Kelana, anak yang lebih senang berada di padang rumput daripada di mall.

Daru Lintang Segara

Akhirnya kita bisa mengunjungi kampung halaman Bundo dan Abakmu, Kapau, setelah diundur berbulan-bulan akibat PPKM. Sedikit mendadak, hari Rabu 1 September dapat izin cuti, beli tiket, hari Sabtu test Swab-PCR, dan Senin sudah berangkat ke Padang. Untungnya peraturan bandara Juanda Surabaya memberikan kebebasan ke maskapai untuk perizinan anak di bawah dua belas tahun terbang. Dari Citilink, syarat anak usia di bawah dua belas tahun hanya surat keterangan sehat dari dokter (yang bahkan ketika di bandara tidak diperiksa sama sekali.)

Alhamdulillah perjalanan Surabaya–Padang berjalan baik, tidak ada halangan berarti. Bahkan, tidak ada keterlambatan pesawat. Engkau dengan antusias memandang keluar jendela, bertanya apa pun yang kamu lihat. Penerbangan pertamamu yang menyenangkan sepertinya. Tak lama engkau tertidur pulas di pangkuan Bundo.

Saat transit di Jakarta pun, engkau dengan antusias memandang ke luar. Akhirnya kali ini benar-benar memandang dari dekat pesawat yang selama ini engkau hanya tahu bentuk mainannya saja. Sebelumnya juga sudah pernah diajak Om Henky ke tempat kerjanya, melihat langsung pesawat dari hanggar, namun jenis pesawat yang berbeda.

Ketika mendarat di Padang, kita dijemput oleh Nenek, Simbah, Nek Angah, dan Aki. Tidak butuh waktu lama engkau untuk kembali akrab dengan Nenek. Mungkin engkau masih ingat “bau tangan” Nenek yang dulu merawatmu di bulan-bulan pertama usiamu. Perjalanan Padang–Bukittinggi disambut hujan lebat, seakan kita diberkahi.

Bahkan, tiga minggu kita di kampung belum membuat kita menjelajahi Sumatera Barat sepenuhnya. Abak hanya bisa libur total seminggu, dua minggu berikutnya tetap harus mengajar, walau online. Namun, kita bertiga sudah mengunjungi berbagai tempat yang indah di sekitar kampung. Kau bisa lihat tempat-tempat apa saja yang sudah kita kunjungi di galeri poto yang disimpan Bundo.

Tiga minggu di Sumatera Barat benar-benar mencuci mata dan paru-paru. Udara yang segar, pemandangan yang asri dan hijau, membuat kita sejenak melupakan Sidoarjo yang panas dan gersang. Udara sejuk dan dingin menyapa setiap kali kita membuka mata di pagi hari. Tak jarang pagi dihiasi kabut, hal yang sudah lama sekali kami lihat sejak meninggalkan Bandung.

Ada beberapa daerah yang belum sempat dikunjungi, namun setidaknya waktu tiga minggu sudah cukup memuaskan rasa rindu kami, Abak dan Bundo, kepada kampung halaman. Nenek-nenekmu juga akhirnya bisa bertemu langsung, tidak lagi hanya melalui video call.

Entah kapan lagi kita akan diberikan kesempatan kembali bisa pulang kampung. Entah kapan lagi kita diberikan kesempatan bertemu dengan nenek-kakekmu. Bisa jadi itu adalah pertemuan terakhir, atau bisa jadi kita akan diberikan kesempatan bertemu lagi. Satu hal yang pasti, masa-masa kita di kampung adalah masa-masa yang harus dihargai dan dikenang. Tidak ada satu pun yang tahu pasti bagaimana masa depan nantinya. Hargailah waktu dengan orang-orang tersayang sebagai sebuah masa yang harus diisi dengan kenangan indah.

Di mana pun kamu nanti akan hidup, yang harus kamu ingat adalah daerah asalmu, Kapau. Seberapa jauh engkau merantau nanti, pastikan kamu tidak melupakan daerah asalmu ini. Abak dan Bundomu berasal dari kampung halaman yang sama, Kapau.

Semoga engkau selalu dilimpahkan kesehatan, keselamatan, dan keberkahan dalam hidup ini, Nak.

Peluk cium
Abak



Darma Eka Saputra

Leave a comment