Gadis Senja, credit to rdf
Debur ombak laut selatan mendayu-dayu, teratur menyanyikan nada alam yang menenangkan. Pasir putih lembut dibelai kasih sayang laut. Angin bertiup semilir, membawa aroma khas bergaram. Langit lembayung temaram, pertanda hari akan segera berakhir. Para nelayan bersiap-siap melaut, mengarungi laut lepas demi keluarga yang mereka tinggalkan. Hari akan berakhir, tapi bagi mereka hidup baru dimulai.
Aku ditemani gelas berembun berisi minuman kesukaanku, jeruk nipis dingin. Di sebelahnya ada kertas putih yang setengah kosong. Pensil dan penghapus tergeletak kelelahan setelah berbagi cerita dengan kertas putih itu, mengisi kekosongannya. Sebuah asbak berisi puntung rokok ikut menemani. Di suatu sudut di kafe itu, tempatku berada.
Kafe itu sederhana, terletak di tepi pantai pada sebuah kota kecil. Menunya tak banyak, hanya beberapa olahan hasil laut, kelapa muda dan minuman dingin lainnya. Suasananya damai, ditemani deburan ombak yang mendayu-dayu. Tak ada musik yang dimainkan. Setelah matahari terbenam baru baru gramofon akan memutarkan lagu-lagu syahdu. Hanya ada beberapa pelanggan lain di kafe itu. Ada yang asyik bercengkerama menikmati waktu mereka dan ada juga yang khusyuk dengan buku yang ia bawa. Pelayan kafe itu sepertinya sedang bahagia. Ia tersenyum lebar menatap sepucuk surat berwarna merah jambu.
Aku selalu berada di kafe ini setiap sore, menghabiskan waktu dengan buku sketsaku. Aku mencorat-coret dari imaji yang ada di kepalaku. Menterjemahkannya sehingga orang lain mengerti apa yang sedang kubayangkan. Dengan gambar aku bercerita. Aku berbagi kegelisahanku, kebahagiaanku dan kesedihanku dalam garis dan bentuk. Aku tidak pandai berkata-kata dengan tulisan, aku terlalu pemalu untuk berbicara.
Aku biasa bercerita dengan kertas-kertas ini. Dengan bantuan pensil, garis adalah kata-kataku, pola adalah kalimatku. Garis menjadi pola, pola menjadi bentuk, lalu bentuk bergabung menjadi sebuah gambar. Garis-faris itu bergabung menjadi rumah, pantai, gunung, perahu, kucing dan punggung seorang wanita.
Gambar seorang wanita berambut panjang sepinggang, cantik digerai lepas. Latar gambar itu pantai di senja hari. Matahari tenggelam di pelukan laut di ufuk barat. Kakinya dibelai asinnya ombak, basah bergaram. Sendiri saja dia disana, menatap jauh ke tengah laut sepertinya. Siapakah dia?
Akhir-akhir ini aku sering melihatnya berada di tepi pantai setiap sore menjelang senja. Kadangkala dia duduk memeluk lutut menatap matahari terbenam, tapi lebih sering ia berdiri memandangi senja menyambut malam. Dia selalu berada di pantai itu sendiri, tak ada yang menemani dan tidak ada yang menghampiri. Saat matahari telah terlelap dan malam mulai menyelimuti bumi, ia beranjak pergi.
Siapakah dia? Apa yang dia lakukan di tepi pantai itu sebenarnya?
Gadis Senja, aku memanggilnya begitu. Aku tidak tahu siapa namanya sebenarnya karena aku tidak pernah berbicara dengannya. Aku hanya memandangnya dari sudut kafe ini. Aku bertanya-tanya dalam hati, lalu mencoba menggambar dirinya.
Dia cantik, rambutnya panjang indah tergerai. Di tepi pantai itu rambutnya menari-nari bersama hembusan angin. Kulitnya kuning langsat, tulang pipinya tinggi dan hidungnya bangir menggemaskan. Tapi matanya berbeda.
Mata yang sayu seakan memendam cerita. Bahkan dari sudut ini aku bisa melihat dia berjalan menunduk seakan menghitung langkah. Matanya sayu, terbeban masa lalukah? Ada bayangan hitam di bawah matanya, mungkin menampung air mata yang bercucuran.
Aku membayangkan dia dengan seorang pria. Seorang pria berseragam loreng dan memanggul sebuah ransel. Mereka berdua berbicara di sebuah sudut keramaian. Dia tergugu terisak, lalu pria itu merangkul dan memeluknya. Pria itu membiarkannya melepaskan emosi itu di dadanya, lalu mengecup mesra keningnya.
Pria itu berjalan meninggalkannya, bergabung dengan rekan-rekannya yang lain lalu melangkah menuju perut pesawat itu. Pria itu tak sanggup untuk menoleh lagi ke belakang, takut wajah gadis itu akan menahan langkahnya, takut air mata gadis itu akan membuatnya berlari kembali dan tak akan meninggalkannya. Gadis itu memandang punggungnya, punggung yang selama ini ia peluk, punggung yang selama ini jadi tempatnya bersandar. Punggung yang akan pergi untuk waktu yang tak singkat.
Lalu Gadis Senja itu pergi ke pantai. Pantai tempat mereka pertama kali bertemu. Ia berharap dengan berada di pantai itu, kerinduannya terobati. Ia bisikkan mantra-mantra rindu, berharap deburan ombak pantai ini akan menyampaikannya ke kekasihnya yang ada di seberang sana. Ia menunggu semilir angin membawa kata-kata cinta dari pria berseragam loreng itu.
Itukah yang ia lakukan? Menunggu dan bercengkrama dengan rindu?
Jangan-jangan Gadis Senja itu sedang lari, kabur dari kejaran masa lalu. Ia berada di pantai ini, tempat tidak ada yang mengenalnya, tidak ada yang mengetahui masa lalunya.
Masa lalunya mungkin dimulai dari rumah besar yang menggantungkan lampion merah di terasnya. Sebuah rumah batu yang terletak di suatu sisi sebuah kota besar. Rumah itu terletak di pinggir jalan raya, sebuah pemukiman yang cukup padat. Hampir setiap rumah memasang lampion merah di teras rumahnya masing-masing.
Siang hari hampir tidak ada suara dari rumah itu. Hanya suara gesekan sapu kacung yang sedang bekerja. Terkadang terdengar desisan dari dapur, disertai aroma masakan yang menggelitik selera. Lalu hening begitu saja. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar.
Berbeda jauh dengan kondisi di malam hari. Lampion merah di teras bersinar cerah. Suasana sepi di siang hari hilang, berganti riuh musik gramofon dan riang gelak tawa dari dalam rumah itu. Mobil-mobil mewah hilir mudik melewati jalan di depan rumah itu. Ada laki-laki yang masuk keluar rumah itu. Perempuan-perempuan bermata jeli duduk-duduk di teras, menatap dengan kerlingan menggoda setiap mobil yang melintas.
Seorang perempuan setengah baya dengan pupur tebal dan gincu merah terlihat mengatur segala-sesuatu di dalam rumah itu. Ia tersenyum manis kepada setiap laki-laki yang datang. Ia menyambut mereka, berbasa basi lalu tawar-menawar. Beberapa lembar uang berpindah tangan, lalu laki-laki itu akan bercengkerama dengan para pemuja Eros.
Gadis senja itu mungkin sudah tak tahan lagi tinggal di rumah berlentera merah. Ia muak hanya menjadi alat perempuan setengah baya itu. Ia lelah dipasung, ia bosan tinggal di sangkar emas itu. Walaupun ia hidup mewah, tapi ada satu kemewahan yang tidak ia miliki. Kebebasan.
Ia lari jauh-jauh dari rumah berlentera merah itu. Dengan bekal seadanya, ia berpindah dari satu kota ke kota lain, selalu melihat ke belakang. Ia takut ada orang-orang dari masa lalunya yang mengenalinya, ia takut dibawa lagi ke rumah batu itu.
Sampai akhirnya ia tiba di tepi pantai ini. Ia telah lelah berlari, ia ingin berhenti sejenak. Pantai, tempat yang mengingatkannya pada masa kecilnya. Ia mengingat kembali saat ia berlari riang di tepi pantai dengan seorang anak lelaki yang sedikit lebih tua darinya. Mereka berdua bermain dan bergembira, tidak pernah mengkhawatirkan hari esok. Mereka berdua berkejaran dengan ombak, melemparkan ranting yang dihanyutkan arus dan tertawa kegirangan. Lalu seorang lelaki berkumis tebal memanggil mereka dan mereka berdua berlari menghambur ke pelukan lelaki itu.
Itu semua hanya dugaanku. Aku hanya mereka-reka apa yang terjadi dengan gadis itu.
Sore semakin tua, langit semakin temaram menyambut malam. Mentari mulai menyentuh ufuk barat, mulai tenggelam di lautan lepas. Aku membereskan peralatanku, memasukkannya ke dalam tas. Sore ini si Gadis Senja tidak ada di tepi pantai. Aku penasaran, kemanakah dia?
Mungkinkah laki-laki berbaju loreng itu telah pulang dari perjalanannya? Gadis Senja lalu berlari menghambur memeluknya, menumpahkan air mata di dadanya seperti saat mereka berpisah dulu. Tapi kali ini air matanya bahagia. Dahaga kerinduannya telah sirna oleh pertemuan itu. Mereka lalu bergandengan tangan, pulang.
Atau si Gadis Senja mulai berlari kembali? Ia berpindah ke kota lain, mencoba berdamai dengan masa lalunya. Tahukah engkau wahai gadis senja, engkau tidak akan bisa berdamai dengan masa lalu hingga engkau berdamai dengan dirimu sendiri. Setelah engkau berdamai dengan dirimu sendiri, baru engkau akan bisa menemukan rumahmu.
Aku melangkah menyusuri pantai ini. Kurasakan lembutnya pasir putih menggelitik kaki. Pasirnya lembab setelah lama bermain dengan ombak. Angin laut bergaram mengacak-acak rambutku. Sesekali air laut menyeka kakiku.
Kunyalakan sebatang rokok, ku isap dalam-dalam hingga ke paru-paru. Pikiranku tak bisa lepas dari Gadis Senja. Aku menyesal tak pernah berkenalan dengannya, menatap dari dekat wajahnya. Aku ingin tidak hanya menggambar punggungnya saja, aku ingin menggambar dia dari depan, menggambar wajah manisnya. Entahlah apakah aku sanggup menggambar tatapan sedih dari mata sayunya.
Betapa besar hasratku untuk berkenalan dengannya. Betapa inginnya aku mengetahui cerita hidupnya. Aku penasaran dengan cerita dibalik kedatangannya ke pantai ini. Kita lalu duduk berhadapan di sudut yang sama dengan tempatku biasa duduk di kafe itu dan kita bertukar cerita. Dia lalu bercerita tentang hidupnya, lalu aku akan bercerita tentang perempuanku. Perempuan yang membuatku berada di pantai ini.
Perempuanku itu berambut panjang sepinggang, sama sepertinya. Tidak seperti dia yang selalu membiarkan rambutnya tergerai indah, perempuanku lebih suka mengikat rambutnya. Terkadang ia menggelung rambutnya di kepala, sehingga aku bisa melihat rambut-rambut tipis jatuh di tengkuknya. Tengkuk yang selalu aku kecup sebelum aku memeluknya dari belakang. Perempuan ini yang dahulu aku lamar sambil berlutut pada sebuah acara pesta dansa dan perempuan ini juga yang menghancurkan hatiku hingga tak ada lagi yang tersisa.
Siang itu aku baru kembali dari luar kota. Pekerjaanku mengharuskan aku sering berada di luar kota tempat tinggalku dulu. Seharusnya aku kembali dua hari lagi, tetapi syukur pekerjaanku kali ini bisa selesai lebih cepat. Pernikahanku dengan perempuanku tidak dikaruniai anak, sehingga rasa rindu dikala berpisah tetap seperti pengantin baru.
Rumahku sepi, tapi kulihat sebuah sepeda motor diparkir di depan rumah. Mungkin ada tamu, pikirku. Aku masuk ke dalam rumah, tetapi di ruang tamu tidak ada orang. Entah firasat apa, sejak aku masuk rumah aku tidak bersuara memanggil perempuanku. Sehelai kemeja tergeletak di sofa, sehelai celana dan rok bertindihan di lantai. Terdengar suara lenguhan, napas yang berpacu kencang seakan berlari dikejar waktu.
Aku melangkah menuju kamar dan kudapati perempuanku sedang bercinta berkeringat menyatu dengan seorang pria. Mereka pias terkejut melihatku muncul di depan kamar, terdiam. Kulemparkan pakaian mereka ke dalam kamar dan dengan tenang kusuruh mereka berpakaian.
Kudekati pria itu lalu kuhantamkan kepalan tanganku ke perutnya. Terhenyak ia terbungkuk lalu semburkan udara dari paru-parunya. Tak kuberi ia kesempatan menarik napas, kuhantamkan lututku ke dadanya. Kupegang bajunya hingga ia tak roboh. Kupukul perutnya, sekali, dua kali, tiga kali terus hingga tanganku kebas. Tak kubiarkan ia jatuh, kusandarkan ia ke dinding. Terus kuhantam dengan lutut, kupukul, kuhantam lagi, kupukul lagi. Tak berhenti sampai disitu, kupatahkan kedua kakinya. Kubiarkan ia mengerang kesakitan, berdarah-darah tapi masih bernyawa.
Perempuanku menjerit tak bersuara. Ia menatapku, ketakutan. Ia seakan melihat lelaki lain dalam sosok yang dikenalnya. Lelaki yang selalu sabar dan tidak pernah ia lihat menumpahkan kemarahannya, sekarang menjelma menjadi orang lain. Menjadi lelaki dengan tatapan tajam menusuk, lelaki yang pendendam.
Tak ada teriakan, tidak ada umpatan caci maki keluar dari mulutku. Hanya tangan dan kakiku saja yang terus berbicara. Aku seret perempuanku dan pria itu keluar rumah, lalu aku tuntun motor yang terparkir di depan rumah. Aku jatuhkan motor itu di dalam rumahku sehingga bensinnya tumpah. Aku bakar tumpahan bahan bakar itu, aku biarkan api menjalar membakar sofa, membakar gorden, membakar pintu hingga membakar habis rumahku.
Perlahan-lahan asap hitam membumbung keluar dari jendela dan pintu rumah. Tak lama, kobaran api mulai menjilat seluruh rumah. Kutatap makhluk merah besar yang sedang melahap rumahku. Kubiarkan rumahku hancur dibakar api, seperti keluargaku yang hancur dilahap ketidaksetiaan dan seperti hatiku yang hancur dibakar dendam.
Lalu tiba-tiba hatiku terasa kosong begitu saja, hampa. Aku kehilangan hidupku, aku kehilangan diriku. Aku melangkah meninggalkan kota itu, aku melangkah meninggalkan masa laluku, tapi aku tak pernah melangkah untuk melupakannya atau memaafkannya.
Aku melangkah jauh dan semakin jauh. Dari satu kota ke kota lain, membiarkan waktu membawaku semakin jauh. Aku tahu, sedalam apapun luka, pada suatu titik waktu akan menyembuhkannya. Aku berjalan hingga sampailah aku di pantai ini.
Ah, lagi-lagi aku menyentuh luka lama. Luka lama setengah kering, tapi masih perih jika tersentuh. Aku masih berjalan di tepi pantai ini, menatap jauh ke depan. Di dalam hati aku masih berharap bisa melihat wanita itu lagi, si Gadis Senja.
Lalu aku melihatnya, wanita cantik berambut panjang itu, Gadis Senja. Dari tempatku berdiri aku bisa melihat dia tersenyum, kepadaku kah? Perlahan aku berjalan menghampirinya. Lalu ia membelakangiku, menghadap mentari yang separuh terbenam. Aku terpesona, siluetnya cantik dengan latar belakang senja.
Aku terus berjalan menghampirinya, tak kurasakan kakiku basah oleh air laut. Aku mendekatinya, menghampiri siluet indah itu. Kubiarkan tasku basah diterpa air laut, tak kupedulikan badanku kuyup, tak kurasakan dinginnya air. Aku mendekat, terus mendekat. Tiba-tiba ia berbalik dan menghampiriku. Ia memelukku erat, seakan kita adalah sepasang kekasih yang tak akan pernah berpisah. Kurasakan pelukannya semakin erat, lalu sayup-sayup terdengar seseorang berteriak memanggil namaku.
Aku sudah tak perduli, aku terbuai di pelukan Gadis Senja. Lalu tiba-tiba gelap.
Ombak laut selatan berdebur membelai pantai. Matahari telah terbenam sepenuhnya.
Dharma Poetra
Bandung, Juli 2015